OLEH: Subarman Salim
Peneliti di Kata Kajao Kiwari
Kini, semua tentang bissu diliputi ironi. Sebagai komunitas, eksistensi mereka lebih tampak sebagai stempel penguasa: datang saat diundang dan hilang setelah upacara selesai. Sisa-sisa ritual adat justru kian menegaskan, mereka kini sudah mulai ditinggalkan.
Sebagai sebuah entitas budaya juga tokoh adat, kini perannya bisa diisi oleh ‘orang lain’ yang didaulat oleh panitia. Kepanitian yang harusnya hanya mengurus teknis, ternyata bisa lebih dalam mengintervensi ritual yang sarat dengan kesakralan.
Absennya bissu dalam ritual HJB (Hari Jadi Bone) ke-692, seakan menambah deretan ironi yang menyertai perjalanan budaya dan penafsiran sejarah Bone yang anakronis. Gejala anakronisme terlihat dari gagalnya memberi pemahaman pada konteks peran bissu sebagai tokoh adat dan pemegang otoritas ritual spiritual. Bissu sebagai komunitas adat dan perannya dalam ritual justru diserang dengan stereotipe pemaknaan agama, sebagai berperilaku syirik, juga dicap sebagai menentang kodrat gender.
Ironi lainnya adalah eksklusivitas makna. Ritual hanya jadi tontonan berkelas, yang mungkin sudah tak lagi mampu diurai makna dan nilai etik yang dikandungnya. Bissu dikurangi perannya, dan posisinya mulai direduksi. Mereka tak lagi sesakral dahulu.
Setidaknya, begitulah anggapan dari banyak pihak yang menganggap momen peringatan HJB sarat dengan dimensi sakral. Itu bisa dilihat dari rangkaian kegiatan: mattompang arajang (penyucian benda pusaka), mallekkeq tojja (pengambilan air suci), dan rangkaian ritual lainnya.