English English Indonesian Indonesian
oleh

Pelayaran Makassar Setelah Perjanjian Bungaya

Abd. Rahman Hamid 

Dosen Sejarah UIN Raden Intan Lampung 

Jauh sebelum perjanjian Bungaya 18 November 1667, Belanda sudah berulang kali mendesak para penguasa Makassar untuk melarang rakyatnya berlayar ke Kepulauan Maluku, karena negeri yang disebut terakhir adalah penghasil utama rempah (cengkih dan pala) yang paling banyak dicari oleh para pedagang di dunia waktu itu. Makassar tumbuh menjadi kota dunia antara lain dari hasil niaga rempah. Karena itu penguasa Makassar selalu menolak segala upaya Belanda untuk memonopoli pelayaran dan perdagangan rempah.

Sikap tegas penguasa Makassar menyulut api permusuhan yang memuncak melahirkan Perang Makassar (1666-1669). Babak pertama perang ini berakhir dengan perjanjian Bungaya. Secara implisit (pasal 9), dalam perjanjian itu, ditegaskan bahwa orang Makassar dilarang berlayar ke Maluku. Mereka hanya boleh berlayar ke daerah-daerah tertentu yaitu Bali, Jawa, Betawi, Banten, Jambi, Johor, dan Borneo.
Sebelum perang, orang Makassar mempunyai akses dan kemudahan mendapatkan rempah dari penduduk Maluku. Mereka bekerja sama dengan pedagang Portugis, Inggris, dan Denmark di Makassar membeli rempah dengan harga yang lebih mahal dibandingkan pedagang VOC-Belanda di Maluku. Orang Makassar acapkali menyokong penduduk Maluku berperang melawan Belanda.

Sementara penguasa Makassar membuka negerinya dan memberikan perlindungan keamanan bagi penduduk Maluku yang hijrah dari tanah airnya akibat berperang dengan Belanda. Semua itu menjadi sumber lahirnya kebencian Belanda terhadap rakyat dan penguasa Makassar.
Lalu setelah perang, apakah orang Makassar sudah tidak bisa lagi berlayar ke Maluku? Pasalnya, perjanjian Bungaya merupakan tonggak kekalahan Makassar dari musuhnya, Belanda. Apakah kebudayaan bahari hancur akibat perjanjian politik?

News Feed