English English Indonesian Indonesian
oleh

Pelayaran Makassar Setelah Perjanjian Bungaya

Dalam hukum ini, sewa perahu dari Makassar ke Maluku sebesar 5 rial atau 10 rupiah setiap seratus rial (Hamid, 2018). Pada tahun 1761 banyak pelaut Makassar, dengan perahu padewakang, tidak mempedulikan pos Belanda telah membeli pala di Misool, Waigeo, dan Onin. Mereka singgah mengambil muatan di Gorom lalu berlayar ke Manila dan Bali (Widjojo, 2013).
Keberadaan orang Makassar di Maluku menarik perhatian pangeran Nuku dari Tidore, yang sedang berjuang melawan dominasi Belanda. Setelah terdesak dari Maluku utara, Nuku mengembara untuk memperluas jaringan dan pendukungnya ke Maluku selatan. Bahkan, secara terbuka Nuku menyebut dirinya sebagai sultan yang berkuasa atas Papua dan Seram.

Dalam satu surat rahasia dari Ternate ke Batavia (28 September 1783) tercatat 100 perahu dari Makassar dan Bonerate bergabung menjadi pendukung Nuku, bersama orang-orang Seram dan Gorom. Pendukung Nuku yang lain adalah orang-orang Papua, Mandar, Buton, Bugis, Mangindano, dan Inggris (Andaya, 2015).
Uraian di atas memberikan tiga pelajaran penting. Pertama, Belanda tidak mampu menghalau gerak pelaut dan perahu-perahu Makassar di tengah samudera menuju kepulauan rempah Maluku pasca perjanjian Bungaya. Kedua, perjanjian politik tidak secara otomatis mengikat dan atau menghancurkan kebudayaan bahari. Ketiga, keberhasilan Makassar masuk dalam jaringan perdagangan tradisional (sosolot) Maluku tak lepas dari buah kebaikan hati penguasa dan rakyat Makassar pada abad ke-17, ketika penduduk Maluku mengalami kesulitan akibat tindakan Belanda.

News Feed