Sebaliknya, jika pembangunan fisik dilakukan namun pembangunan manusianya dilupakan, maka sebuah bangsa hanya akan menjadi pengekor (follower) saja. Kita harus ingat, follower never be a winner. Jika bangsa kita menjadi follower, artinya kita bangsa yang kalah.
Memperkuat tesis itu, Amartya Sen (1999) menyatakan bahwa jika pembangunan fisik suatu negara tidak didasarkan pada pengembangan SDM-nya, maka laksana membangun istana pasir di tepi pantai. Rapuh dan mudah dirobohkan. Amartya Sen adalah filsuf kontemporer yang juga peraih Nobel di bidang Ekonomi.
Dalam konteks ini, pembangunan SDM akan berkorelasi positif dengan pendidikan. Tetapi pendidikan bukanlah semata-mata soal gelar, atau sekadar belajar mengajar. Pendidikan adalah usaha untuk mengubah pola pikir dan perilaku; mengubah hati, pikiran dan tindakan; menjadi bangsa yang berilmu dan berintegritas; sehingga memiliki daya tahan dan daya saing tinggi.
Minimal ada tiga ilmu dan keterampilan dasar abad 21 yang harus kita miliki, agar siap menghadapi tantangan Industrial Revolution 4.0 dan Society 5.0. Pertama, Learning Skills, untuk dapat berpikir kritis dan mengembangkan kreativitas dan inovasi.
Kedua, Literacy Skills, untuk mampu mengelola arus informasi komunikasi sebagai sumber ilmu pengetahuan dan aplikasinya. Ketiga, Life Skills, terkait kompetensi kepemimpinan yang adaptif dan penuh inisiatif, untuk mampu mendayagunakan semua keunggulan kompetitif yang Bangsa Indonesia miliki.
Dengan menyiapkan karakter dan keterampilan dasar itu, kita tinggal menyambut momentum yang datang. Brian, mahasiswa F-MIPA UNM bertanya, mengapa harus menunggu tahun 2045 untuk mencapai Indonesia Emas. Penulis katakan, tidak ada patokan waktu pasti, kapan sebuah negara bisa mencapai masa keemasannya.