Ia menyarankan agar kasih sayang ditunjukkan dengan norma, nilai, dan prinsip yang sesuai dengan agama dan diterima oleh masyarakat.
“Semakin kasih sayang itu ditunjukkan dengan cara yang baik dan positif buat dirinya dan orang yang banyak, maka semakin membuat seseorang itu akan merasa tidak waswas, bahagia, dan bebas,” urai dosen UNM ini.
Kultur Beda
Euforia hari kasih sayang biasanya disambut hangat kalangan muda. Bahkan sebelum harinya tiba, mal dan supermarket didominasi dengan hiasan tanda cinta.
Mulai simbol bunga, pernak-pernik berwarna hati, coklat, serta balon-balon yang memeriakan di setiap sudut. Namun, penilaian beda disampaikan Sosiolog Unhas Rahmat Muhammad.
Menurutnya, Valentine adalah budaya dan kultur luar yang masuk ke Indonesia. Banyak yang salah menerjemahkan budaya itu.
“Bukan budayanya kita di Indonesia. Seolah-olah hari kasih sayang itu jatuhnya di tanggal 14 Februari, padahal dalam konteks yang lebih luas kita, kan, bisa tiap hari dengan siapa pun,” katanya.
Ketua Program Studi Magister Sosiologi Unhas ini prihatin dengan budaya yang saat ini terbagun di kalangan anak muda. Mereka memaknai hari kasih sayang untuk hal-hal yang sempit dan berujung malapetaka.
“Momentum hari kasih sayang mereka manfaatkan untuk keluyuran tengah malam dan mabuk-mabukan yang kemudian menimbulkan masalah baru seperti kecelakaan, terbunuh, bahkan berhubungan intim sampai tidak terkontrol,” tambahnya.
(put-ams/zuk)