Oleh : Agustan
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan
IAIN Palopo
Posisi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam sistem demokrasi Indonesia khususnya dalam pemilu, pileg, dan pilkada masih menjadi perdebatan sampai saat ini.
Hal itu disebabkan, karena ASN merupakan instrument utama dalam tata kelola dan administrasi kependudukan yang dianggap kompeten dan memahami medan di lapangan (M. Reski: 2019:220).
Selain itu, keanggotaan Aparatur Sipil Negara terhitung cukup besar dan memiliki kedudukan yang ideal di tengah-tengah masyarakat. Mayoritas telah melalui tahapan jenjang pendidikan yang tinggi.
Dalam buku statistik ASN Juni 2021 yang diterbitkan Deputi Bidang Sistem Informasi Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara. Jumlah ASN di Indonesia per 30 Januari 2021 sebanyak 4.081.824 orang. Rinciannya, instansi pusat 20 persen atau berjumlah 949.050 orang dan instansi pemerintah daerah 77 persen atau berjumlah 3.132.774 orang.
Dengan kategori jenjang pendidikan sarjana 67 persen atau 2.733.998 orang, Diploma 15 persen atau 619.732 orang dan SD-SMA 18 persen atau 728.094 orang.
Hal ini tentu merupakan angka cukup menarik perhatian bagi elite politik mencari simpati dan dukungan kepada Aparatur Sipil Negara untuk mendapatkan kemenangan pada pemilu, pileg, maupun pilkada serentak di masa mendatang.
Menjadi ASN tentu memiliki keuntungan tersendiri dari segi pendapatan dan status sosial. Terkait pendapatan, pegawai negeri sipil memiliki gaji pokok, tunjangan, serta jaminan di masa tua dari pemerintah. Namun di sisi lain, menjadi ASN merupakan tantangan dan beban tersendiri dalam menghindari tekanan-tekanan politik dari pihak-pihak tertentu baik di tingkat pusat maupun daerah.