MAKASSAR, FAJAR—Nelayan terbebani pengeluaran besar. Pungli oknum petugas membuat mereka tersandera.
PUNGUTAN liar (pungli) itu nelayan hadapi saat hendak mengurus penerbitan dokumen kapal. Secara regulasi, dokumen itu sebenarnya tidak mahal.
Hanya Rp500 ribu sudah lebih dari cukup. Bahkan gratis bagi kapal nelayan 6 gross tonnage (GT) ke bawah. Akan tetapi, nelayan kecil dibebankan biaya Rp5 juta sampai dengan Rp10 juta. Sekadar informasi, GT adalah tonase kotor dari sebuah kapal.
Untuk menjalankan aksinya, oknum petugas Kantor Kesyahbandaran Utama Makassar, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, menggunakan jasa agen pelayaran untuk mencari korban.
Melalui agen pelayaran inilah, oknum petugas Syahbandar berinisial D mendapatkan untung besar. Di dermaga Pelabuhan Paotere Makassar, menjadi lokasinya sering beraksi.
Apalagi, ratusan kapal besar maupun kecil berlabuh di situ. FAJAR memantau di lokasi itu, Senin, 11 Januari. Ada dua kapal berukuran lebih dari 1000 GT sedang membongkar muatan. Buruh pengangkut sibuk. Itu berkah bagi mereka.
Berbeda halnya dengan kapal nelayan pengangkut ikan berukuran 7-35 GT. Mereka dihantui rasa takut untuk kembali melaut lantaran belum mengantongi dokumen kapal nelayan.
“Sudah tiga bulan saya urus dokumennya, tetapi sampai sekarang belum terbit,” kata Sumiharja, salah seorang pemilik kapal nelayan.
Kapal nelayan miliknya berukuran 8 GT asal Kepulauan Masalima, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulsel. Untuk menerbitkan dokumen kapal nelayan, dia menggunakan jasa keagenan Syahbandar Makassar, Kurni.
“Dulu dokumen kapal ini, dia (Kurni) juga yang urus. Tapi, dokumen lamanya hilang,” sambung Sumiharja.
Di dalam kapal miliknya, Sumiharja menyodorkan secangkir kopi hitam. Kemudian, dia mengurai, rata-rata kapal nelayan asal pulau di Pangkep, Kurni yang mengurus penerbitan dokumen kapal nelayan. Makanya, semua pengurusan dipercayakan padanya.
“Saya percaya karena teman nelayan lain punya dokumen kapal melalui dia. Untuk terbit, katanya (Kurni) suratnya memang agak lama. Rata-rata tiga bulan lebih. Ada juga yang satu bulan terbit, tapi bayarnya agak mahal,” ungkapnya sembari meminta FAJAR menyeruput kopi seduhannya.
Jarum jam menunjuk pukul 17.00 Wita. Sembako pesanan warga pulau sudah tiba. Satu per satu, barang dinaikkan ke atas kapal milik Sumiharja. Sebelum semua barang dinaikkan, Kurni tiba-tiba datang menggunakan sepeda motor automatik.
Kurni langsung membuka sadel motornya. Lalu, mengambil dua lembar kertas dari bagasi. “Sudah diproses berkas-Ta. Jadi nanti kalau ditahan sama petugas, kasi lihat saja ini. Bilang kalau dokumennya sudah diproses, Pak,” kata Kurni kepada Sumiharja.
Sumiharja hanya menganggukkan kepala. Kepada setiap pemilik kapal, Kurni mengaku sebagai petugas Syahbandar. Untuk menerbitkan dokumen kapal nelayan berukuran 5-20 GT, biayanya Rp5,5 juta.
“Iya (petugas Syahbandar). Begitu memang biayanya. Ya, kalau tidak ada, mana mau dilayani. Sama halnya kalau kau ke camat urus berkas. Kalau tidak ada biaya, na-suruh-ki pulang,” ucapnya lalu tertawa saat FAJAR mengonfirmasi status pekerjaannya.
Pembayaran dokumen itu diakuinya untuk membayar petugas ukur kapal Rp1 juta, termasuk disetor ke Kepala Syahbandar. “Kalau tidak begitu tidak dilayani. Dan lama memang terbit, sekitar tiga bulan. Karena berkas di kantor itu menumpuk. Ada 1.000 berkas. Jadi bukan cuma ini saja. Belum lagi kalau jaringan bermasalah,” ujarnya.
Perbincangan kami terhenti. Kurni pergi dengan sepeda motornya. Untuk sejumlah uang yang diminta Kurni, Sumiharja mengaku belum memberikan. Ia akan memberikan uang itu setelah dokumen kapal sudah ada.
Nelayan lainnya yang namanya minta dirahasiakan, mengaku dokumen kapalnya juga diurus oleh Kurni pada 2020. Sekarang sudah mati. Harus diperbaharui.
“Sudah mau diperpanjang kayaknya. Dan waktu itu saya bayar Rp8 juta lebih. Hampir Rp9 juta,” ujar nelayan pemilik kapal 15 GT itu.
Agen Pelayaran
Agen pelayaran sebenarnya hadir untuk memberikan bantuan kepada kapal pelayaran rakyat (Perla). Melalui bantuan merekalah, dokumen kapal diterbitkan. Termasuk mengedukasi masyarakat dengan baik. Sayang, hal ini dijadikan jalan untuk melakukan pungli.
Selasa, 12 Januari, FAJAR, mendatangi Kantor Syahbandar Makassar. Untuk masuk ke kantor itu, harus melapor kepada petugas sekuriti terlebih dahulu. Menitip kartu identitas, lalu menyampaikan maksud dan tujuan. Jika ingin menemui pejabat, harus ada janjian terlebih dahulu.
Setelah diperbolehkan masuk ke dalam oleh petugas sekuriti, FAJAR dihampiri beberapa petugas. Termasuk ajudan Kepala Syahbandar Makassar. Dia tak mengizinkan FAJAR untuk bertemu dengan Kepala Syahbandar.
Untuk mendapatkan data jumlah kapal nelayan, FAJAR diminta menyurat terlebih dahulu. Untuk besaran biaya sendiri, petugas Syahbandar secara bergantian memberikan penjelasan.
Hingga akhirnya, Kepala Seksi Status Hukum Kapal Syahbandar Makassar Farijs Awwal yang bersedia memberikan komentar. Dia mengaku, bidangnyalah yang ditujukan.
Farijs Awwal menunjukkan besaran biaya PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) untuk besaran biaya penerbitan dokumen kapal nelayan. Besaran biayanya diperlihatkan pada monitor di depan pintu masuk, dan poster yang tertempel di depan loket pelayanan.
Peraturan Pemerintah No. 15/2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan menjadi payung hukum.
Untuk penerbitan Sertifikat keselamatan, garis muat dan pencegahan pencemaran lingkungan maritim berdasarkan persyaratan mandatori dan nonmandatori, GT 7 sampai dengan GT 325 untuk pelayaran rakyat hanya Rp25 ribu.
Selanjutnya, GT 7 sampai dengan GT 35 sebesar Rp 25 ribu, GT 36 sampai dengan GT 175 sebesar Rp 50 ribu, dan lebih dari GT 175 sebanyak Rp 170 ribu. Biaya ini sama dengan penerbitan dokumen pengawakan/kepulauan. //Selengkapnya lihat grafis//
“Jadi tidak benar itu biayanya sampai Rp5 jutaan. Itu jelas per sertifikat hanya Rp25 ribu dan Rp50 ribu untuk kapal GT 7 sampai GT 35. Kalau GT 6 ke bawah itu gratis. Bahkan kami sudah membuat pas kapal nelayan sebanyak 600 lebih secara gratis. Kami datang ke pulau-pulau,” ungkapnya sembari memperlihatkan foto dan video dokumentasi bukti kegiatan pembuatan pas nelayan gratis.
Karena itu, Farijs Awwal mengingatkan kepada nelayan agar mengurus izin secara mandiri. Sehingga para nelayan bisa terhindar dari calo.
“Penerbitannya juga tidak lama. Paling lama tiga hari. Kalau berkas lengkap, satu hari saja sudah selesai,” ucapnya.
Dokumen kapal milik Sumiharja bebernya, baru diregistrasi pada Senin, 11 Januari 2022. Sementara untuk melakukan pengukuran kapal, Sumiharja tak tahu harus menghubungi siapa. Sebab, tak ada nomor kontak yang disimpan.
“Jadi sekali lagi. Tidak ada berkas yang menumpuk. Semuanya kita selesaikan dengan cepat. Itu yang susah kalau kita mau ukur kapal, baru kapalnya tidak ada. Hanya itu saja kendala,” imbuhnya.
Oknum Kelabakan
Konfirmasi yang dilakukan FAJAR langsung diketahui Kurni. Ini terungkap setelah Kurni menghubungi adik Sumiharja melalui panggilan telepon.
Kurni mengaku ditelepon petugas Syahbandar berinisial D yang selama ini dia temani bekerja sama untuk menerbitkan dokumen kapal nelayan.
“Jangan bicara biaya ke petugas. Tadi ada petugas datang ke Kantor Syahbandar. Saya dimarahi sama Pak D,” ungkapnya kepada adik Sumiharja melalui panggilan telepon.
Apalagi, beber Kurni, uang yang diminta belum diterima sama sekali. “Jadi kalau saya nanti dipanggil, lalu ditanya sama Pak Kepala, saya bilang ‘Biar satu sen uangnya tidak ada saya ambil’. Jadi jangan-mi bahas biaya. Karena dipersulit maki itu,” ungkapnya.
Ancaman yang dilontarkan Kurni membuat Farijs Awwal sempat naik pitam. Sebab, Kurni telah mencederai nama instansi pemerintah dengan mencatut nama petugas hingga Kepala Syahbandar Makassar dengan menyebut menyetor sejumlah uang.
“Itu tidak benar sama sekali. Kami akan panggil dan memberikan teguran kepada yang bersangkutan. Dia itu bukan agen Syahbandar. Tidak ada agen Syahbandar. Dia agen pelayaran,” kata Farijs dengan nada agak tinggi.
Farijs meminta, agar nelayan yang dikorbankan untuk langsung datang mengurus di Kantor Syahbandar Makassar. Dia memastikan, akan dilayani dengan baik, terbuka, dan transparan.
“Berkas yang sudah disetor ke dia (Kurni) ambil kembali. Itu tidak ada masalah. Kalau soal ancaman, dia (Kurni) mau mengancam dari mananya. Persulit dari segi mananya. Kita di sini yang layani,” ungkapnya. (tim)
==============
Dorong Korban
Berani Bersuara
Dugaan pungli penerbitan dokumen kapal nelayan tak boleh dibiarkan. Penegak hukum diminta membongkar praktik itu.
Pakar Hukum Pidana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof Hambali Thalib mengatakan keluhan nelayan sudah menjadi jalan penyidik kepolisian untuk bertindak. Mengingat, keluhan tersebut sudah menjadi informasi awal untuk menyelidiki.
Nelayan yang digantung berbulan-bulan untuk mendapatkan dokumen kapal, seharusnya tidak terjadi. Sebab, tuntutan pelayanan dipercepat yang dilandasi dengan standar operasi prosedur (SOP) dan aturan.
“Apalagi, sudah ada yang minta biaya besar di luar dari ketentuan. Ini sudah tindakan melanggar hukum,” kata mantan Direktur Program Pascasarjana (PPs) UMI itu.
Pungli, beber Hambali, merupakan salah satu tindakan melawan hukum yang diatur dalam UU No. 31/1999 juncto UU No. 22/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sehingga praktik ini termasuk tindakan korupsi dan merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang harus diberantas.
“Tentu ini dilakukan secara bersama. Jadi oknum Petugas Syahbandar menggunakan agen pelayaran untuk melakukan pungli. Hasilnya, kan, dibagi-bagi. Jadi kena pasal 55, penyertaan,” bebernya.
Untuk itu, keduanya harus mendapat hukuman. Petugas kepolisian tidak boleh diam. Informasi ini sudah bisa menjadi jalan untuk membongkar kejahatan yang meresahkan masyarakat kecil.
Ayo Bicara
Kapolres Pelabuhan Makassar AKBP Yudi Frianto mengatakan kesulitan nelayan sudah pernah diperbincangkan. Namun, hanya sebatas aturan yang sangat memberatkan nelayan.
Terkait adanya dugaan praktik pungli, dia meminta agar korban atau nelayan berani memberikan kesaksian. Sekaligus memberikan laporan secara terbuka. Sehingga pihaknya segera membongkar kasus tersebut.
“Kalau perlu kita OTT (Operasi Tangkap Tangan). Tetapi, harus ada saksi yang kuat. Kami tentu akan memberikan perlindungan kepada nelayan atau korban. Jadi kami berharap ada laporan yang disertai dengan bukti atau saksi yang kuat,” kata Yudi Frianto.
Meski begitu, keresahan nelayan saat ini sudah diterima. Sehingga pengumpulan informasi secara mendalam juga akan dilakukan. (tim)
============
Nelayan Terpaksa
Menyuap Petugas
Petugas Ditpol Airud Polda Sulsel terus bersiaga di Pelabuhan Paotere Makassar. Seluruh kapal yang keluar maupun masuk, diperiksa terlebih dahulu.
Karena belum mengantongi dokumen kapal nelayan, awak kapal terpaksa menyuap petugas. Begitulah pengakuan para nelayan di Pelabuhan Paotere Makassar.
Mereka harus menyiapkan uang minimal Rp500 ribu untuk menyuap petugas jaga di perairan Makassar.
“Kalau mau masuk Pelabuhan Makassar, sudah ada speedboat polisi. Kita langsung kasi uang Rp50 ribu. Kadang juga Rp100 ribu,” kata nelayan berkapal GT 11 yang namanya minta tidak dibeberkan kepada FAJAR, Senin, 11 Januari.
“Masih belum sandar, masih ada lagi dua kapal speed datang. Kita kasih lagi. Jadi untuk masuk saja itu sudah keluarkan uang sekitar Rp300 ribu. Keluar nanti begitu juga,” sambung pria itu.
Hari makin gelap. Radio masjid sudah berbunyi, hingga azan magrib berkumandang. Lima menit setelah salat magrib, satu kapal nelayan perlahan meninggalkan pelabuhan Paotere Makassar. Masih berjarak sekitar 500 meter dari dermaga, satu satu speedboat merapat.
“Sudah menyetor itu. Itu baru satu. Nanti di luar ada lagi,” kata nelayan berinisial AS kepada FAJAR di jembatan lima Pelabuhan Paotere Makassar sambil menunjuk ke arah kapal nelayan yang diadang speedboat milik Polairud.
Baginya, menyuap petugas sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan, para nelayan merasa tidak keberatan. Apalagi, jika mengawal kapal hingga meninggalkan tanggul pelabuhan.
“Kita sudah anggap hal itu bagian dari aktivitas berbagai. Karena kalau tidak ada uang, ikan juga kita berikan. Lagian mereka bekerja,” ucapnya, tersenyum.
Yang disesalkan, lanjutnya, petugas yang datang di saat kapal sudah sandar pelabuhan. Hanya datang meminta uang atau mengambil ikan, lalu pergi begitu saja.
“Itu, kan, tidak bekerja. Tidak memberikan perlindungan juga,” ungkap lelaki berusia 35 tahun itu. Dia terlihat sangat kesal.
Akan tetapi, ia dan para nelayan lain hanya pasrah. Tak berani melawan. Sebab, hal itu bisa berdampak pada pekerjaannya. Syukur jika hanya dipersulit. Yang dikhawatirkan kalau ditahan.
Mereka tak tahu harus berbuat apa lagi. Itulah alasan para nelayan tak berani angkat bicara. Para nelayan sadar, mereka sangat mudah dipidanakan karena tak memiliki dokumen kapal nelayan.
Mereka bisa dijerat pasal Pasal 42 ayat 2 Sub Pasal 98 UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
“Saya harus jujur Pak. Beberapa petugas kepolisian memang mengayomi kami. Bahkan di antara mereka menyampaikan ke kita bahwa kapal nelayan di bawah GT 10 tak mesti memiliki surat dokumen berlayar. Tetapi, saat diperiksa, kita tetap diminta menunjukkan dokumen. Makanya kita tetap mengurus kelengkapan dokumen,” ucapnya.
Sementara untuk menerbitkan dokumen, biaya yang diminta tidak sedikit. Ada pengurus yang minta Rp5 juta, Rp9 juta, bahkan Rp15 juta. “Itu pun harus menunggu berbulan-bulan. Surat milik saya tiga bulan baru ada. Bayarnya hampir Rp9 juta,” tuturnya.
Padahal, biaya untuk melaut cukup besar. Biaya bahan bakar minyak (BBM) saja sudah menghabiskan Rp2 juta lebih. Itu sudah dalam perjalanan pulang dan pergi dari Pulau Masalima (Pangkep) ke Pelabuhan Paotere (Makassar).
Belum lagi memberikan upah ke awak kapal, biaya makan, dan biaya perbaikan kapal. Sebelum menutup pembicaraan, nelayan ini meminta agar tidak menyebutkan nama petugas.
Selain sudah menganggap petugas sebagai rekan, mereka tak mau para petugas bermasalah karena sudah mendapat uang atau ikan dari nelayan.
“Kami anggap itu berbagi. Kami sama-sama mencari makan dan saling berbagi. Toh, mereka tidak pelit ke kita juga kalau dimintai tolong,” pintanya.
FAJAR tentu menghargai hal itu. Karenanya, seluruh identitas petugas tidak dibeberkan dalam naskah ini.
Untuk kepemilikan dokumen kapal sendiri, baik itu SIUP, SIPI/SIKPI diatur Permen KP No. 30/MEN/2012 pasal 12 yang mengecualikan bagi nelayan kecil, pemerintah, pemerintah daerah, atau perguruan tinggi untuk kepentingan pelatihan dan penelitian/eksplorasi perikanan.
Demikian halnya dengan UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam pasal 1 ayat 4 menyebutkan, nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 GT.
Direktur Polairud Polda Sulsel Kombes Pol Supeno mengatakan patroli di perairan Makassar memang dilakukan secara rutin. Hal ini dilakukan untuk mencegah tindakan melanggar hukum.
Terkait kepastian kapal di bawah GT 10 boleh atau tidak memiliki dokumen kapal nelayan, Supeno mengaku hal itu tugas Syahbandar Makassar. “Kalau ini tanya Syahbandar Makassar,” katanya.
Seharusnya aturan ini sudah di luar kepala. Sehingga petugas jaga tidak melakukan intimidasi atau ancaman kepada nelayan. Sehingga nelayan terpaksa menyuap. “Tidak ada itu (minta uang),” bantah Supeno, lalu menutup telepon. (tim)
Disclaimer: liputan ini telah terbit di Koran FAJAR, Rabu, 19 Januari 2022.