Pembangunan RSUD Kolaka Timur, yang bernilai Rp126,3 miliar dan bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2025, merupakan bagian dari program Quick Wins Presiden yang dirancang untuk mempercepat implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Namun, proyek yang seharusnya menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas layanan kesehatan justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi oleh beberapa pihak terkait.
Konstruksi perkara ini bermula pada Desember 2024, ketika Kementerian Kesehatan diduga melakukan pertemuan dengan lima konsultan perencana untuk membahas Basic Design RSUD yang dibiayai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK). Proses pengadaan desain awal tersebut dilakukan dengan penunjukan langsung.
Pada Januari 2025, Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur (Pemkab Koltim) dan Kemenkes diduga bertemu untuk membahas pengaturan lelang proyek pembangunan RSUD. Di sinilah AGD, selaku PPK, diduga memberikan sejumlah uang kepada ALH untuk mengatur proses tersebut.
“ABZ bersama pejabat daerah lainnya berangkat ke Jakarta untuk mengondisikan agar PT PCP memenangkan lelang,” ungkap Asep.
Proses ini berujung pada penandatanganan kontrak pada Maret 2025 antara AGD dan PT PCP, yang mengatur pembangunan RSUD dengan nilai proyek sebesar Rp126,3 miliar.
Pada bulan April 2025, AGD diduga memberikan uang sebesar Rp30 juta kepada ALH, yang kemudian mengalirkan sejumlah uang tunai yang besar, termasuk Rp500 juta yang diserahkan kepada AGD. KPK menemukan sejumlah bukti uang yang diduga merupakan bagian dari komitmen fee sekitar 8% atau sekitar Rp9 miliar dari nilai proyek tersebut.