Fajlurrahman Jurdi: Dilema Konstitusional dalam Implementasi
Senada dengan Prof. Aidul, Fajlurrahman Jurdi menilai bahwa putusan ini menghadirkan dilema konstitusional. “Jika tidak dilaksanakan, maka itu berarti melawan putusan pengadilan. Namun jika dilaksanakan, justru berpotensi melanggar UUD 1945,” tegas dosen Fakultas Hukum Unhas tersebut.
Ia menyoroti bahwa memperpendek atau memperpanjang masa jabatan anggota DPRD menjadi 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan tetaplah berpotensi melanggar konstitusi. “Meski ada perintah dari MK, perubahan masa jabatan harus tetap sesuai dengan ketentuan konstitusi,” jelasnya.
Sebagai alternatif, Fajlur mengusulkan adanya pemilu transisi khusus bagi anggota DPRD. Namun, opsi ini pun dinilai belum tentu konstitusional. “Perpanjangan otomatis masa jabatan menjadi 7 tahun atau 7,5 tahun adalah solusi praktis, tapi tetap saja tidak sesuai dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” tambahnya.
Dr. Fahri Bachmid: Masa Transisi Adalah Ruang Bijak
Dr. Fahri Bachmid, yang juga seorang politisi dan advokat, memandang bahwa kegaduhan yang ditimbulkan oleh Putusan MK 135/2024 merupakan lanjutan dari Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Putusan tersebut sebelumnya telah mengatur tentang dua model keserentakan pemilu: nasional dan lokal.
“Membuka ruang bagi masa transisi pemilu adalah langkah yang bijak,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa perpanjangan masa jabatan DPRD bisa saja terjadi jika ada kesepakatan antara Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang.
Menariknya, Fahri mengutip pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie bahwa keberadaan MK pada dasarnya memang lahir dari situasi ultra petita, di mana MK kadang mengambil peran di luar permintaan pokok perkara. “Jika ditanya apakah putusan ini ultra petita atau ultra vires, saya pikir memang demikianlah karakter dasar MK,” pungkasnya.