Antara Formalitas dan Realitas
Secara hukum, Jokowi bukan pengurus partai. Tak ada surat keputusan, tak ada berkas formal di KPU atau Kementerian Hukum dan HAM yang menyebut namanya. Tapi publik, seperti dikatakan pendiri PSI Raja Juli Antoni, “sudah paham di mana posisi Pak Jokowi.”
Dalam politik Indonesia, formalitas sering datang belakangan. Yang lebih penting adalah gestur, pernyataan, dan kemauan untuk turun ke gelanggang. Dan pada hari itu, Jokowi turun sepenuhnya. Tidak lagi bermain di pinggir lapangan, tapi kini seperti pelatih—bahkan mungkin pemilik klub.
Dengan Gibran di kabinet dan Kaesang di pucuk PSI, tak sedikit yang melihat ini sebagai upaya membangun dinasti politik secara halus, tetapi terstruktur. Jokowi sendiri tak pernah secara eksplisit mengakui hal itu, tapi dukungan terbuka terhadap partai anak bungsunya memberi cukup alasan untuk membaca arah angin.
Panggung Baru, Pertaruhan Baru
Partai Solidaritas Indonesia selama ini dikenal sebagai partai kecil dengan gaya besar. Meski belum pernah lolos ke parlemen, PSI konsisten hadir di ruang digital dan kalangan muda urban. Kini, dengan Kaesang di depan dan Jokowi di belakang layar, partai ini tampaknya tengah bersiap menapaki jalan baru: menjadi kendaraan politik keluarga Jokowi.
Apakah publik akan mengikuti? Apakah suara PSI bisa mengerek perolehan suara nasional setelah dua kali gagal di parlemen? Itu urusan lain. Tapi satu hal sudah jelas: Jokowi belum benar-benar turun panggung. Ia hanya mengganti kostum, dari kepala negara menjadi kepala mesin.