Di tubuhnya ditemukan patah tulang paha, rusuk, dan panggul, luka yang cukup parah untuk membuatnya tak bisa bergerak. Salah satu tulang rusuk dilaporkan menusuk paru-paru, menyebabkan pneumotoraks — kondisi di mana udara memenuhi rongga dada dan membuat paru-paru kolaps. Di tengah rasa sakit luar biasa itu, ia bertahan di udara dingin kawasan ketinggian, dengan tubuh terluka parah, nyaris tak bisa bersuara.
“Itu kematian yang menyakitkan, berdarah, dan menyiksa,” kata Nelson Massini. “Dia sadar, dalam kondisi menderita, dan perlahan-lahan kehilangan kekuatan.”
Lambatnya Evakuasi: Titik Kritis dalam Penyelamatan
Salah satu titik kontroversial dalam tragedi ini adalah lambatnya respons tim evakuasi. Berdasarkan penelusuran keluarga, drone terakhir menangkap Juliana masih hidup pada pukul 06.59 WITA, 21 Juni. Pada pukul 07.51, seorang turis Spanyol melihat Juliana dalam kondisi sadar dan masih dapat berteriak minta tolong. Namun, tim penyelamat baru tiba sekitar pukul 19.50, lebih dari 12 jam setelah Juliana terakhir terlihat hidup.
“Itu terlalu lama. Dalam kondisi kritis seperti itu, setiap jam menentukan hidup atau mati,” tegas Mariana Marins, adik korban. “Kami tidak menyalahkan siapa pun secara pribadi, tapi sistem yang lambat ini harus ditinjau ulang.”
Keluarga mempertanyakan mengapa Basarnas, badan penyelamat nasional Indonesia, baru diberi tahu berjam-jam setelah insiden terjadi. Mariana menyebut, “Mereka tahu itu kecelakaan serius. Tapi mengapa tidak ada evakuasi segera?”
Lokasi Jatuh Sudah Lama Dikenal Berbahaya