“Ketika penggunaannya tidak disertai dengan perhitungan yang matang, maka paylater berubah jadi jebakan finansial. Orang membeli sesuatu berdasarkan keinginan, bukan kebutuhan. Ini yang berbahaya,” tegas Sahade.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tren kredit macet (non-performing financing) dari layanan paylater terus mengalami peningkatan. Pada September 2024, tingkat kredit macet tercatat sebesar 2,60 persen. Angka ini meningkat menjadi 2,79 persen pada Oktober, dan naik signifikan menjadi 3,78 persen pada April 2025. Nilai total pinjaman yang tertunggak mencapai Rp8,24 triliun.
“Angka itu menggambarkan realitas bahwa banyak pengguna tidak mampu mengembalikan utang tepat waktu. Ini bukan hanya soal perilaku konsumtif, tapi juga soal kurangnya literasi keuangan,” ujar Sahade.
Ia juga mengingatkan bahwa risiko tersebut berdampak luas, tidak hanya pada kondisi keuangan individu, tetapi juga secara psikologis. Banyak yang mengalami stres karena terlilit cicilan. Produktivitas kerja menurun, dan mereka mengalami tekanan mental karena merasa terjebak dalam lingkaran utang. Ini ancaman nyata bagi generasi muda.
Dari sisi ekonomi makro, Sahade menjelaskan bahwa fenomena paylater memberi dampak ganda. Di satu sisi, konsumsi rumah tangga yang meningkat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, jika konsumsi tidak produktif dan melampaui pertumbuhan pendapatan riil, maka akan menciptakan ketidakseimbangan jangka menengah hingga panjang.
“Konsumsi yang tidak sehat akan menekan daya beli di masa depan. Cadangan tabungan menipis, utang meningkat, dan masyarakat semakin rentan terhadap gejolak ekonomi,” jelasnya.