Oleh: Muhammad Suryadi R
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare
Salah satu fokus utama pemerintahan Prabowo adalah pendidikan. Langkah perbaikan sedang ditempuh, salah satunya mendirikan Sekolah Rakyat.
Gagasan ini sekaligus bertujuan ekonomi untuk memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah yang dinaungi Kementerian Sosial ini rencananya akan dibuka di beberapa titik di Indonesia secara bertahap. Menurut beberapa sumber, tahun ini akan dibuka 100 sekolah di beberapa wilayah. Sekolah dengan konsep asrama ini berbeda dengan sekolah asrama lainnya yang diisi oleh anak-anak pintar dan berprestasi. Sekolah Rakyat ala Prabowo ini akan diisi oleh anak-anak dari orang yang paling tidak mampu.
Kebenaran soal Sekolah Rakyat terus menggema. Kabarnya terus menggelinding di tengah pemberlakuan efisiensi anggaran. Di tengah pemangkasan-pemangkasan anggaran di kementerian dan sejumlah lembaga negara, pos anggaran justru dibuka seluas-luasnya dan dikucurkan untuk eksekusi Sekolah Rakyat. Di sini sisi dilematisnya kendati anggaran pembangunan, pembukaan lahan dan properti lain berasal dari dana kolaboratif APBN dan APBD.
Berdasarkan rilis pemerintah, sekolah ini akan dibuka mulai tahun ajaran baru di bulan Juli. Persiapan-persiapannya sudah rampung. Calon murid telah didata dan disurvei oleh tim bentukan Kemensos. Juga rekrutmen tenaga pendidik, semuanya telah diseleksi secara profesional. Sedangkan, gedung sekolah memanfaatkan aset Kementerian Sosial, BUMN, Pemda, dan Perguruan Tinggi untuk dilakukan renovasi terbatas sesuai kebutuhan.
Sekolah Rakyat di Masa Lalu
Sekolah Rakyat ala Presiden Prabowo mengingatkan kita dengan Sekolah Rakyat Tan Malaka. Kita tahu, sekolah di masa Hindia Belanda hanya diberikan untuk anak bangsawan, priyayi, dan orang yang dekat dengan para kompeni. Akibatnya, muncullah sekolah-sekolah alternatif, salah satunya Sekolah Rakyat. Mula-mula, sekolah ini bernama Sekolah SI (Sarekat Islam) sebelum akhirnya berubah nama menjadi Sekolah Rakyat. Didirikan tahun 1921 di Semarang, Tan Malaka dan Semaun membangun sekolah ini sebagai sekolah kerakyatan dengan tujuan menjadikan anak-anak bangsa berpikir merdeka.
Di masa itu, Sekolah SI ramai peminat. Masyarakat berdatangan menyekolahkan anaknya. Biaya sukarela dan fasilitas yang jauh dari memadai tidak menjadikan sekolah ini surut dan membuat Datuk Ibrahim ciut. Keterbatasan itu justru ibarat kobaran api semangat yang meluap-luap. Ide menjadikan sekolah ini sebagai tempat mendidik anak-anak peduli dan membela kaum tertindas melambung tinggi. Karena itu, di sekolah ini, anak-anak diperkenalkan lagu Internasionale, lagu perjuangan kaum buruh. Internasionale menjadi mars yang wajib dinyanyikan. Sejak dini, anak-anak dididik untuk bisa berjuang, bekerja sama, bergotong-royong dengan sesama rakyat.
Tan yang juga merupakan guru di sekolah itu mengajarkan bahwa sekolah adalah alat perjuangan. Maka, semestinya orientasi materi ajar tertuju pada rakyat tertindas (kaum kromo), kemerdekaan pikiran, dan keadilan. Berdiri atas konsep kerakyatan, muncul permintaan pembukaan cabang Sekolah SI di luar Semarang. Beberapa di antaranya di Pulau Jawa. Nama Sekolah SI semakin luas terdengar hingga ke telinga kompeni. Hal ini mengusik kekuasaan mereka. Sekolah ini dan sekolah alternatif lainnya seperti Taman Siswa kemudian mendapatkan perhatian serius pemerintah Hindia-Belanda.
Sekolah-sekolah ini dianggap ilegal dan liar. Pendiriannya tidak sesuai dengan sistem yang telah diatur pemerintah Hindia-Belanda. Tidak lama berselang dibuatlah ordonansi pengawasan untuk memantau sekolah-sekolah yang tidak disiplin dan tertib aturan. Semenjak itu, banyak sekolah yang tidak mendapatkan izin pendirian. Beberapa sekolah bahkan ditutup lantaran dianggap membahayakan pemerintahan.
Sosialisme Prabowo
Sekolah Rakyat ala Tan dan Sekolah Rakyat versi Prabowo sangat berbeda. Keduanya hidup di era berbeda. Tahun 1921 adalah masa penjajahan yang dipenuhi darah, disesaki bau bangkai manusia, suara tembakan terdengar dimana-mana. Sementara, di tahun 2025, yang terjadi justru kecanggihan dimana-mana. Digitalisasi pendidikan, pembayaran elektronik, mobil listrik, kecerdasan buatan dan kecanggihan lainnya. Dan di era Presiden Prabowo, tak ada perang di Indonesia, setiap orang hidup rukun, damai dan harmonis.
Kendati terdapat perbedaan, kedua-duanya baik Sekolah Rakyat ala Tan dan Sekolah Rakyat ala Prabowo berangkat dari konsep kerakyatan. Kedua sekolah ini dibangun atas dasar yang sama, yakni untuk menyekolahkan kaum miskin. Dalam konteks ini, Tan Malaka dan Prabowo memiliki kemiripan, yakni pemihakannya terhadap pendidikan untuk kaum miskin. Dari sini, sosialisme Prabowo memancar. Apalagi memang latar belakang Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, adalah politikus Partai Sosialis Indonesia di era kabinet Natsir.
Sekolah Rakyat yang dibangunnya melambangkan semangat sosialisme tertanam dalam dirinya. Ia paham bahwa pendidikan adalah strategi jangka panjang untuk menghentikan kemiskinan. Menyekolah anak-anak miskin di Sekolah Rakyat adalah cara mengatasi kesenjangan yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Pendidikan akan dibuat merata. Semua anak-anak bangsa akan bersekolah dengan fasilitas setara. Tak ada lagi ketimpangan soal sekolah untuk orang kaya dan orang miskin. Anak-anak bangsa akan mengenyam pendidikan berkeadilan.
Jangan dibayangkan sosialisme Prabowo meniru gaya Eropa. Sosialisme Prabowo bukanlah sosialisme Prancis yang disebut utopis oleh Karl Marx. Prabowo jelas tidak menganut sosialisme berdarah Uni Soviet yang menginginkan revolusi sebagai satu-satunya jalan dalam menciptakan egalitarianisme dan kehidupan tanpa penindasan. Sosialisme Prabowo adalah sosialisme yang lahir atas pembacaan kondisi kebangsaan yang ia amati selama ini. Atas dasar itu, pendidikan dan rakyat miskin menjadi fokus di pemerintahannya. Karenanya, program unggulan selama ia menjabat presiden menjadikan anak-anak sekolah sehat melalui program MGB (Makan Bergizi Gratis) dan Sekolah Rakyat untuk anak-anak miskin dan putus sekolah.
Soal apakah Sekolah Rakyat efektif atau tidak, itu bisa jadi perdebatan. Program ini bisa jadi tidak menyelesaikan akar masalah. Mengingat, pendidikan Indonesia masalahnya cukup kompleks, tidak bisa tuntas hanya dengan satu program dan dipikirkan hanya dalam jangka enam bulan. Dan bisa jadi hanya akan menambah daftar masalah baru pendidikan Indonesia apabila program ini tidak dikelola dengan baik, serius dan dievaluasi secara berkelanjutan. Jika tidak, program ini akan bernasib seperti program yang lalu-lalu. Berganti presiden, berganti kebijakan. Menteri baru, kurikulum baru. Dan hanya di Indonesia, kementerian yang mengurusi pendidikan selalu berganti nama seiring pergantian presiden. (*)