SuarA: Nurul Ilmi Idrus
Red flag bukan istilah baru, sound familiar ketika ada yang menyebutnya, tapi tidak selalu kita dengarkan. Istilah ini digunakan sebagai tanda-tanda peringatan yang menunjukkan adanya potensi masalah, perilaku negatif, atau situasi yang tidak sehat. Red flag bisa terkait dengan beragam hal, hubungan,
Beberapa hari belakangan ini red flag menjadi perbincangan, terutama karena ada lima universitas di Indonesia (yang masuk kategori red flag dalam kaitan dengan Integrity Risk Index (RI2). Integrity Risk Index ini diciptakan oleh Prof. Lokman Meho (American University of Beirut) atas keprihatinan beliau terhadap sistem pemeringkatan universitas yang lebih pada kuantitas dan kurang terhadap kualitas.
Integrity Risk Index merupakan metrik untuk mengidentifikasi dan membuat profil risiko kampus-kampus di dunia atas integritas penelitian yang mengacu pada dua indikator utama yang independen dan dapat diverifikasi, yaitu (1) R-rate (jumlah artikel yang ditarik kembali (retracted) per 1.000 publikasi, yang menunjukkan pelanggaran terkait metodologi, etika, atau kepenulisan); (2) D-rate (persentase publikasi suatu institusi di jurnal yang dikeluarkan dari Scopus atau Web of Science karena tidak memenuhi standar kualitas).
Jikamerujuk pada indikator tersebut, red flag menunjukkan risiko tinggi dan mengindikasikan potensi pelanggaran yang sistemik. Terkejutkah kita atas masuknya lima universitas di Indonesia dalam kategori red flag? Ini masih bisa jadi objek perdebatan. Meskipun tidak dibicarakan secara terbuka, “aroma” R-rate dan/atau D-rate dalam publikasi dosen tidak dapat dipungkiri.
Banyak akademisi yang tidak siap jika submit artikel di jurnal, kemudian artikelnya banyak revisinya (dengan berbagai komentar peer reviewers), atau bahkan ditolak (dengan alasan-alasan penolakannya). Padahal ini adalah proses biasa dalam persilatan publikasi. Tapi banyak akademisi tidak menyukai proses demikian dan menganggapnya sebagai keribetan publikasi. Banyak akademisi senang yang serba instan, begitu di-submit, di-ok-kan, lalu dipublikasikan. Bahkan orang merasa dibenci oleh reviewers jika tulisannya banyak dikomentari, apalagi ditolak. Padahal ini adalah blind review (yang me-review dan yang di-review tidak saling mengetahui) demi objektivitas.
Jurnal yang baik harus melewati proses peer-review, baik secara teknis, maupun secara substansial. Komentar-komentar reviewers menjadi dasar untuk merevisi artikel bagi penulisnya dan seharusnya penulis bersyukur karena dibantu berfikir oleh para reviewers agar tulisan menjadi layak terbit. Dalam proses ini orang bisa belajar banyak, bukan hanya bagaimana menulis berdasarkan aturan jurnal, menyampaikan temuan-temuan penelitian, tapi juga menuliskannya agar layak diterbitkan.
Penolakan oleh jurnal biasanya berkaitan dengan substansi artikel dan kebaruan topik. Penolakan oleh Tim Penilaian di kampus (apakah untuk kenaikan pangkat atau untuk menjadi professor) biasanya terkait dengan ketidaksesuaian dengan keilmuan, jurnal discontinue dan diskontinuitas jurnal berkaitan dengan kualitas jurnal itu sendiri. Jurnal yang baik tidak discontinue, aman dan terkendali karena ada proses yang harus didahului sebelum akhirnya dianggap layak untuk diterbitkan, dan mengikuti prosedur yang harus dilalui yang memang cukup panjang. Jurnal abal-abal jikapun ada (revisi ala kadarnya), umumnya instan, tinggal bayar (mahalpun diupayakan), selesai, dan sangat berpotensi untuk discontinue (sehingga membuat penulisnya jantungan). Namun jurnal abal-abal banyak penggemarnya karena prosesnya yang instan dan mudah ditembus, sementara jurnal yang bagus cenderung dihindari dengan berbagai alasan (lama, ribet karena banyak revisi, dan susah ditembus).
Red flag bukan sesuatu yang mengejutkan. Munculnya nama-nama universitas sebagai perguruan tinggi yang masuk kategori red flag menunjukkan ada yang harus dievaluasi dan diperbaiki, dan ini bukan hal sepele karena menyangkut integritas ilmiah. Tapi, universitas yang tidak masuk dalam daftar, jangan ge-er dulu, hanya belum terdeteksi.