Oleh: Dian Fitri Sabrina
Dosen Hukum Tata Negara
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sering kali menjadi pusat kontroversi karena penafsiran konstitusi yang tidak selalu diterima secara universal oleh akademisi, politisi, maupun masyarakat, mengingat sifat subjektif penafsiran hukum tata negara. Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, diucapkan pada 26 Juni 2025, memicu polemik serius dengan memerintahkan pemisahan pemilu nasional (DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden) dari pilkada (DPRD dan kepala daerah) mulai 2029, dengan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun. MK beralasan bahwa pemisahan ini, yang menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu inkonstitusional secara bersyarat, akan meningkatkan kualitas demokrasi lokal, mengurangi beban penyelenggara dan pemilih, serta memberikan ruang bagi isu lokal yang sering tenggelam dalam pemilu serentak “lima kotak” seperti pada 2019 dan 2024. Namun, putusan ini dianggap oleh partai politik seperti NasDem dan PDIP serta sejumlah pengamat bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 22E ayat (1) yang mengatur periodisitas pemilu setiap lima tahun sekali, Pasal 18 ayat (3) yang menyatakan anggota DPRD dipilih melalui pemilu, dan Pasal 18 ayat (4) yang menegaskan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) harus dipilih secara demokratis. Kontroversi ini tidak hanya menyangkut konstitusionalitas, tetapi juga implikasi praktis dan potensi krisis tata negara yang dapat melemahkan demokrasi elektoral.
Pemisahan pemilu menimbulkan masalah kritis berupa kekosongan jabatan kepala daerah dan DPRD selama 2–2,5 tahun setelah masa jabatan lima tahun berakhir, yang memaksa penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah oleh pemerintah pusat. Penunjukan Pj ini secara langsung bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, karena Pj tidak memiliki legitimasi elektoral langsung, sehingga dianggap tidak demokratis dan berpotensi membuka celah bagi permainan elit politik. Pj yang ditunjuk oleh pemerintah pusat, yang sering kali dipengaruhi oleh dinamika koalisi partai politik, dapat digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan di daerah, melemahkan otonomi daerah, dan mengurangi akuntabilitas kepada pemilih. Lebih parah lagi, untuk DPRD, putusan ini menyebabkan perpanjangan masa jabatan hingga tujuh tahun tanpa pemilu, yang jelas melanggar prinsip periodisitas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1). Tidak adanya mekanisme “penjabat” untuk DPRD menciptakan konflik norma tata negara, karena DPRD sebagai badan legislatif daerah harus memiliki legitimasi elektoral yang diperbarui setiap lima tahun.
Perpanjangan ini tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga merusak prinsip representasi demokratis, karena anggota DPRD yang terus menjabat tanpa mandat baru kehilangan legitimasi untuk mewakili rakyat.
Klaim MK bahwa pemisahan pemilu meningkatkan kualitas demokrasi dipertanyakan secara kritis, karena jeda waktu 2–2,5 tahun justru dapat menurunkan akuntabilitas demokratis dan meningkatkan biaya logistik pemilu. Selain itu, pemisahan ini berpotensi memungkinkan politisi nasional yang gagal dalam pemilu nasional untuk “berpetualang” ke pilkada, sehingga justru mengurangi peluang putra daerah dan melemahkan demokrasi lokal yang diklaim MK akan diperkuat. “Rekayasa konstitusional” yang diminta MK kepada DPR dan pemerintah untuk mengatur norma transisi, seperti revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, tidak memiliki jaminan pelaksanaan yang cermat. Resistensi dari DPR dan partai politik, yang menolak putusan ini sebagai inkonstitusional, meningkatkan risiko constitutional deadlock, yaitu kebuntuan tata negara akibat ketidaksesuaian antara putusan MK yang final dan mengikat dengan kewenangan legislatif DPR. Penolakan partai seperti NasDem, yang menyatakan putusan ini tidak mengikat, dan PDIP, yang menyoroti pelanggaran periodisitas pemilu, menunjukkan potensi krisis yang dapat mengganggu pelaksanaan pemilu dan stabilitas pemerintahan daerah.
Putusan MK ini tidak hanya menciptakan tantangan praktis seperti biaya logistik dan potensi constitutional deadlock, tetapi juga melemahkan prinsip demokrasi elektoral dengan memberikan ruang bagi elit politik untuk memengaruhi daerah melalui Pj, sebuah masalah yang diperparah oleh kurangnya jaminan bahwa pertimbangan hakim MK benar-benar menjamin kualitas demokrasi. Dengan demikian, putusan ini tidak hanya berisiko melanggar Pasal 22E dan Pasal 18 UUD 1945, tetapi juga mengancam otonomi daerah dan stabilitas tata negara, menjadikannya salah satu putusan paling kontroversial dalam sejarah MK. (*)