“Dokter nyata tetap dibutuhkan untuk membangun kepercayaan, menavigasi ambiguitas, dan memberi perawatan holistik yang tidak bisa dilakukan mesin,” tulis Microsoft.
Sebagai contoh, kasus gejala umum seperti batuk dan demam ditangani AI dengan pendekatan realistis: merekomendasikan tes darah dan rontgen dada sebelum menyimpulkan kemungkinan pneumonia. Langkah-langkah ini meniru logika klinis seperti yang dilakukan dokter manusia di ruang praktik.
Microsoft menyadari bahwa teknologi ini belum siap diterapkan di klinik atau rumah sakit. Uji coba yang lebih luas diperlukan, khususnya pada kasus-kasus umum dan gejala ringan yang lebih bervariasi.
Sementara itu, Microsoft juga melontarkan kritik terhadap Ujian Lisensi Medis Amerika Serikat (USMLE), menyebutnya terlalu bergantung pada hafalan pilihan ganda dan tidak cukup menguji pemahaman konseptual—area di mana AI justru unggul.
Superdokter Digital
Suleyman menyebut proyek ini sebagai langkah awal menuju kecerdasan medis super, yakni sistem yang tidak hanya meniru, tapi melampaui kemampuan intelektual manusia dalam menganalisis data klinis lintas disiplin. Menurutnya, sistem seperti ini bisa berjalan dengan sempurna dalam waktu satu dekade ke depan.
“Meningkatkan kemampuan penalaran diagnostik bisa mengubah cara kita melihat layanan kesehatan,” klaim Microsoft. (*)