Oleh: Supratman
Dosen Departemen Sastra Asia Barat, Universitas Hasanuddin
Pengamat Timur Tengah
Pasca serangan militer Amerika Serikat terhadap Iran, lanskap geopolitik Timur Tengah memasuki babak yang semakin tak menentu. Muncul pertanyaan mendasar: apakah langkah militer ini sungguh dimaksudkan untuk mengakhiri sistem pemerintahan Republik Islam Iran? Ataukah ia sekadar dijadikan alat tekanan—semacam kartu tawar—untuk membuka jalan bagi kesepakatan yang lebih luas? Bagi Benjamin Netanyahu, pilihan pertama tampaknya lebih sesuai dengan ambisi politiknya. Namun, di balik kalkulasi itu, ia pun paham bahwa Donald Trump, terlepas dari retorika bombastisnya, barangkali tak memiliki niat maupun kesiapan untuk terlibat dalam konflik berkepanjangan dengan biaya politik dan ekonomi yang mahal.
Analisis Ehab Jabareen di kanal Al Jazeera menawarkan potret krisis Israel dari sudut yang jarang dibahas media arus utama. Hingga awal Juni 2025, Israel berada di bawah tekanan strategis paling signifikan sejak berdirinya negara itu. Kegagalan menguasai Gaza, kemandekan dalam diplomasi, serta kecaman dari dunia internasional—semuanya menciptakan suasana politik yang rapuh dan penuh kegelisahan. Angkatan bersenjata mengalami kelelahan operasional, masyarakat sipil terpecah, dan elit politik sendiri mulai memperlihatkan gejala krisis kepercayaan yang akut.
Dalam kondisi seperti itu, serangan terhadap Iran lebih menyerupai langkah pengalihan dibanding solusi jangka panjang. Netanyahu memanfaatkan konfrontasi ini untuk memecah perhatian publik dari tuduhan genosida terhadap warga Gaza. Perang dengan Iran menawarkan dua kemungkinan yang menguntungkan baginya: mengalihkan krisis domestik dan memancing keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam konflik, meski banyak pihak di Washington, termasuk Trump, justru mendorong stabilisasi.
Namun persoalannya tak berhenti pada dinamika kekuatan militer semata. Esensi dari krisis ini justru menyangkut kegagalan Israel dalam menerjemahkan keunggulan militer menjadi posisi politik yang kuat dan berkelanjutan. Di tengah hiruk-pikuk narasi “keunggulan taktis”, Israel tetap tidak bisa lepas dari ketergantungan strategis terhadap Amerika. Baik dalam rencana pemboman fasilitas nuklir Iran maupun dalam opsi diplomasi darurat, Washington tetap menjadi pengatur permainan.
Sementara itu, respons Iran terhadap serangan Amerika menunjukkan kalkulasi matang. Bukan sekadar balasan emosional, reaksi Teheran tampak dirancang dengan cermat: cukup kuat untuk menunjukkan kekuatan, namun tidak sampai memicu perang habis-habisan. Strategi ini memperlihatkan kecakapan Iran dalam memainkan diplomasi kekuatan, sekaligus mengungkap ketidaksiapan Israel menghadapi konflik multidimensi tanpa payung sekutu. Kekhawatiran yang mengemuka di kalangan elite militer dan politik Israel memperkuat kesan ini.
Upaya Israel untuk mengendalikan narasi publik setelah serangan menjadi bukti kekhawatiran terhadap hilangnya kendali legitimasi. Dengan menyita peralatan jurnalis asing, membatasi informasi warga sipil, hingga menerapkan sensor militer ketat, Israel tampak lebih sibuk menjaga citra daripada menyelesaikan substansi krisis. Padahal, data internal berbicara lain: puluhan ribu permintaan kompensasi kerusakan dan eksodus massal dari zona konflik menjadi isyarat kuat disintegrasi sosial yang tak bisa dibantah dengan retorika.
Paling mengkhawatirkan dari semua ini adalah absennya strategi keluar (exit strategy) yang masuk akal. Dalam prinsip klasik politik luar negeri, perang adalah alat untuk mencapai tujuan politik. Tetapi jika tidak ada tujuan yang jelas dan rasional, maka perang hanya menjadi lingkaran setan yang justru menggerus fondasi eksistensi negara. Israel tampaknya terperangkap dalam logika ini, terutama karena terlalu lama menggantungkan stabilitasnya pada konflik yang tak kunjung berujung.
Di tengah kebuntuan ini, Netanyahu menghadapi pilihan eksistensial: mempertahankan kekuasaannya sekalipun harus menyeret negaranya ke jurang ketidakpastian, atau mengakui kegagalan dan merintis arah baru. Di kalangan analis kebijakan dan elit intelektual Israel sendiri, pembelahan semakin terasa. Ada yang menyebut langkah Netanyahu sebagai manuver strategis penuh risiko, namun tidak sedikit pula yang menyebutnya sebagai petualangan yang bisa berakhir dengan keruntuhan internal.
Yang patut digarisbawahi, konflik dengan Iran bukan sekadar konfrontasi fisik. Ini adalah perang simbolik yang menyasar legitimasi negara, kapasitas deterrent, serta kohesi internal Iran sebagai entitas politik dan spiritual. Dalam banyak hal, strategi Israel terhadap Iran jauh lebih destruktif ketimbang taktik mereka menghadapi Hamas atau Hizbullah—dan justru karena itu, jauh lebih berisiko.
Kini Israel tidak lagi berdiri di persimpangan jalan, melainkan di hadapan cermin besar yang memantulkan kenyataan pahit: kegagalan strategis, krisis kepercayaan, dan isolasi moral di panggung dunia. Di Gaza, semua ambisi militernya gagal tercapai. Di dalam negeri, kehancuran psikologis dan sosial perlahan menggerogoti daya tahan publik. Di level internasional, simpati perlahan bergeser, dan bahkan di AS, suara-suara menyerukan deeskalasi kian menguat.
Serangan ke Iran tampak sebagai langkah terakhir untuk membalik papan permainan. Tetapi tanpa kesepakatan damai yang mengakhiri tragedi Gaza, atau konsensus internasional yang mengendalikan program nuklir Iran, Israel sebenarnya telah kehabisan kartu. Serangan ini bukan lagi ekspresi kekuatan, melainkan justru refleksi dari kerapuhan: semacam last leap into the void. Sebuah perang yang dimulai tanpa tujuan yang jelas, tanpa strategi keluar, dan tanpa mitra sejati bisa berakhir sebagai ironi sejarah paling getir: negara yang ingin menaklukkan musuhnya, namun justru tertakluk oleh bayangannya sendiri. (*)