Oleh: Andi Dahrul
Dosen STIEM Bongaya
Ketika negara turun tangan menulis ulang sejarah, masyarakat patut waspada: apakah kita sedang membangun ingatan kolektif atau menyamakan langkah dalam satu barisan narasi tunggal?
Proyek penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon diklaim sebagai langkah akademik besar: 113 pakar dilibatkan, orientasi Indonesia-sentris dijanjikan, dan target rampungnya diarahkan tepat pada HUT ke-80 Republik Indonesia. Di balik jargon nasionalisme itu, muncul kekhawatiran bahwa sejarah sedang diseterika—dihaluskan, dirapikan, dan disemprot parfum politik agar tampak wangi bagi generasi muda.
Padahal sejarah sejatinya bukan untuk menenangkan hati. Ia hadir untuk menggugah, mempertanyakan, bahkan mengganggu kenyamanan kita terhadap masa lalu. Jika sejarah hanya menjadi narasi pahlawan dan kemajuan, maka ia kehilangan fungsi kritisnya sebagai cermin bangsa.
Luka-Luka yang Dihilangkan
Salah satu kritik paling substansial terhadap proyek ini adalah abainya narasi luka dan trauma bangsa. Tragedi 1965 dan genosida anti-komunis yang menewaskan ratusan ribu jiwa, kekerasan sistemik di Timor Leste, operasi militer berdarah di Aceh dan Papua, serta tragedi Mei 1998 tak menjadi bagian penting dalam draft sejarah yang disiapkan.
Sejarah perlawanan petani terhadap penggusuran tanah, gerakan buruh dan mahasiswa yang mengubah arah bangsa, atau perjuangan feminis akar rumput, tak dianggap layak masuk ruang utama narasi. Semua ini digeser, direduksi, atau diamputasi seakan bukan bagian dari tubuh republik ini.
Lebih jauh, sejarah perdagangan budak dan kolaborasi elite lokal dengan kolonialis, atau konflik horizontal seperti Ambon dan Poso, juga disisihkan. Padahal, inilah jejak-jejak yang menunjukkan bahwa sejarah bukan hitam-putih. Ia adalah lapisan kompleks relasi kuasa, perlawanan, dan kompromi.
Sejarah yang Menjadi Alat
Dengan peluncuran proyek ini bertepatan dengan perayaan kemerdekaan, muncul sinyal kuat bahwa sejarah sedang disiapkan untuk membangun kebanggaan, bukan kesadaran. Sejarah semacam ini bukan hanya tidak lengkap, tapi juga berbahaya, ia menyesatkan. Kita diajak untuk bangga tanpa tahu apa yang harus disesali. Kita diminta mencintai negeri tanpa mengenal luka-lukanya.
Sejarah bukan alat propaganda. Ia bukan alat legitimasi kekuasaan. Ia adalah ruang etika publik tempat suara korban, pelaku, dan penonton bisa duduk bersama dalam ketegangan tafsir.
Sejarah Milik Rakyat
Pertanyaan terbesarnya, untuk siapa sejarah ini ditulis? Jika hanya ditulis untuk generasi muda agar bangga, lalu bagaimana dengan generasi tua yang pernah disiksa dan diasingkan tanpa pengadilan? Jika hanya disusun oleh para pakar yang terafiliasi dengan negara, bagaimana dengan pengalaman lokal, suara komunitas adat, dan memori rakyat kecil?
Sejarah adalah milik rakyat, bukan milik negara. Ia tak bisa dimonopoli, apalagi dikemas seperti brosur pembangunan. Yang dibutuhkan hari ini bukan sejarah yang nyaman dibaca, tetapi sejarah yang jujur. Sejarah yang mengakui luka, menyuarakan pinggiran, dan membuka ruang debat.
Bangsa yang besar bukan bangsa yang menyembunyikan masa lalunya, tetapi yang berani menatapnya dengan jujurmeski perih. Dan hanya dengan keberanian itu, kita bisa melangkah ke depan tanpa menginjak bayangan kita sendiri.