Bahkan dalam praktiknya, kelompok-kelompok kritis seperti akademisi, komunitas sipil, dan tokoh masyarakat sering kali tidak diundang atau tidak diberi ruang yang cukup dalam Musrenbang. Padahal, suara mereka penting untuk menjaga agar perencanaan pembangunan tetap berpihak pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan segelintir orang.
Dalam konteks otonomi daerah, sebenarnya pemerintah daerah punya kewenangan untuk menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kebutuhan lokal. Selama tidak melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, kebijakan pusat yang tidak sesuai dengan kondisi daerah semestinya bisa dikaji ulang. Otonomi daerah bukan hanya soal pengelolaan administratif, tapi juga soal keberanian dalam mengambil keputusan demi kepentingan masyarakat.
Birokrasi kita pun harus berani bersuara. Jangan hanya menjadi pelaksana instruksi dari pusat, tapi juga harus mampu menyuarakan kondisi riil di lapangan. Banyak kebijakan pusat yang tidak cocok diterapkan secara seragam di seluruh daerah. Daerah seperti Palopo, yang memiliki karakteristik tersendiri, tentu butuh pendekatan yang berbeda.
Saat ini, sudah saatnya efisiensi dikembalikan pada makna sejatinya: hemat, tepat guna, dan berdampak nyata. Pemangkasan anggaran seharusnya dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja program, bukan sekadar potong rata. Dan yang paling penting, efektivitas tetap harus menjadi tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan kebijakan.
Jika tidak ada koreksi arah kebijakan, maka masyarakat akan terus merasa kecewa dan menjauh dari proses pembangunan. Pemerintah harus kembali pada prinsip dasar: mendengar, melayani, dan memenuhi kebutuhan rakyat. (shd)