English English Indonesian Indonesian
oleh

Indonesia di Persimpangan Jalan: Membenahi Sengkarut Tambang Nikel demi Masa Depan


Oleh: Ahmad Yani *)

Indonesia, dengan cadangan nikel terbesar di dunia—sekitar 38,46% dari total global—berada di persimpangan jalan. Kekayaan mineral ini seharusnya menjadi berkah, namun faktanya, tata kelola pertambangan nikel kita justru menyimpan segudang masalah. Dari izin yang diobral hingga eksploitasi berlebihan, kita seolah mengulang kesalahan masa lalu dalam pengelolaan sumber daya alam.

Jejak Kekacauan Izin dan Paradigma Usang

Carut-marut ini bermula dari kebijakan desentralisasi pertambangan di era Otonomi Daerah 1999. Pemerintah daerah, yang kala itu memegang kendali penuh, seringkali salah menafsirkan desentralisasi. Sumber daya alam lebih dipandang sebagai mesin pencetak pendapatan ketimbang modal pembangunan jangka panjang. Ditambah lagi, minimnya tenaga teknis pertambangan yang kompeten di tingkat kabupaten membuat proses penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) cenderung menjadi formalitas belaka.

Akibatnya fatal: banyak IUP produksi yang terbit ternyata tidak ekonomis untuk ditambang karena kadar nikelnya rendah, atau bahkan ironisnya, berada di kawasan lindung yang bertentangan dengan UU Kehutanan. Ini bukan sekadar kesalahan administratif; ini adalah bukti rapuhnya fondasi pengambilan keputusan yang mengabaikan kaidah pertambangan dan prinsip keberlanjutan. Walaupun kini kewenangan izin telah ditarik kembali ke pusat melalui UU No. 3 Tahun 2020, dampak dari “obral” izin di masa lalu masih terus menghantui.

Perencanaan Tambang yang “Gembling” dan Eksploitasi Tanpa Batas

Masalah tak berhenti di situ. Banyak perusahaan pemegang IUP menjalankan operasinya tanpa manajemen perencanaan yang komprehensif dan holistik. Data eksplorasi yang tidak akurat atau tidak lengkap menjadi dasar keputusan eksploitasi, sehingga kegiatan penambangan cenderung “gembling”. Alhasil, metode penggalian tidak efisien, merusak lingkungan, dan bahkan merugikan investor sendiri. Area penggalian seringkali tidak memiliki batas yang jelas, dan rencana pengelolaan lingkungan pasca-tambang seperti reklamasi dan revegetasi, hanya sebatas formalitas di atas kertas.

News Feed