Bagi kami yang juga sebagai petugas PPIH, apa yang diterapkan petugas keamanan di Mina sudah tepat, karena jika tidak diminta terus jalan, maka akan terjadi penumpukan dan bisa menghambat alur jalan jemaah.
Persoalan petugas keamanan setempat hanya satu. Bahasa yang nyaman bagi mereka hanya Arabic. Sangat jarang dari mereka bisa paham bahasa Inggris atau bahasa pasaran Indonesia seperti kebanyakan di toko-toko. sehingga menyulitkan jemaah untuk berkomunikasi dengannya.
Bersama petugas PPIH lain, pun demikian dengan jemaah, petugas keamanan di Mina kerap kucing-kucingan. Berpindah dari tempat yang satu ke tempat lain hanya sekadar menunggu waktu mabit untuk mempersiapkan pelontaran di Jamarat.
Bagi jemaah juga mungkin tak salah. Beristirahat di emperan Jamarat menjadi pilihan setelah fisik mereka habis terkuras selama perjalanan fase Armuzna — Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Untuk kembali ke tenda Mina, mereka butuh waktu dan tenaga yang cukup untuk bisa melontar jumrah di bawah terik Makkah yang membakar kulit.
“Fisik saya dan rekan se-tenda sedang tidak dalam kondisi baik. Di hari sebelumnya saya menjalani wukuf di Arafah, mabit di amuzdalifah hingga berjalan dari tenda Mina ke Jamarat ini,” tutur Rahmawati, jemaah asal JKG-23.
Dengan fisik yang lemah, pilihan “mabit” di kawasan Jamarat menjadi pilihan. Tapi, ia dan rekannya setiap saat harus berpindah-pindah tempat saat petugas mengusir dengan kata “Yalla, Hajj…! Yalla, Hajj…!
Pun, kosa kata ini menjadi populer di bibir jemaah haji Indonesia. Setiap bertemu dengan rekan atau teman jemaah, mereka ikut menyuarakan, “Yalla, Hajj… Yalla, Hajj…! (Sg)