Oleh: Andi Januar Jaury Dharwis
(Pemerhati Kebijakan Publik dan Pegiat Olahraga Lari di Makassar)
Sudah menjadi pemandangan lazim di Makassar: warga berolahraga di pinggir jalan umum seperti Jl. AP Pettarani, Pengayoman, Boulevard, Letjen Hertasning, Jenderal Sudirman, hingga kawasan Pasar Ikan Ujung Pandang. Setiap pagi dan sore, derap langkah kaki para pelari berpadu dengan deru kendaraan bermotor. Kota ini menyimpan energi luar biasa dari masyarakat yang berupaya hidup sehat, meski minim fasilitas yang mendukung.
Fenomena ini bukan tanpa sebab. Fasilitas olahraga, khususnya jalur lari atau jogging track, sangat terbatas. Taman kota dan ruang terbuka di perumahan tak memadai. Bahkan trotoar, yang seharusnya menjadi zona aman untuk pejalan kaki, telah lama beralih fungsi: menjadi tempat parkir, lapak usaha mikro, hingga tempat menaruh puing dan sampah. Warga akhirnya tidak punya pilihan selain turun ke badan jalan. Ironis, karena ruang yang didesain untuk keselamatan, justru ditinggalkan karena disalahgunakan.
Saya adalah salah satu dari ribuan warga yang mengisi ruang kosong itu. Bahkan secara tidak disengaja, atmosfer Pettarani Looping lahir dari konsistensi dan antusiasme kolektif yang kami bangun. Kini, kebiasaan itu telah menginspirasi banyak orang untuk bergerak, sekaligus menciptakan ekosistem ekonomi, dari penjualan kebutuhan olahraga hingga jasa dokumentasi.
Namun, di tengah geliat itu, muncul kegelisahan besar: soal keselamatan. Apakah pemerintah daerah hanya melihat ini sebagai tren musiman? Atau sudah memikirkan kebijakan dan proteksi yang nyata? Sejauh ini belum ada rambu peringatan, tidak ada zona pengaman, dan tidak ada pengaturan lalu lintas yang memberi ruang aman bagi warga yang berolahraga.