English English Indonesian Indonesian
oleh

Teh Setelah Makan: Nikmat yang Diam-diam Menguras Zat Besi

Oleh: Andi Anugrah Rahma
Jurusan Kesehatan Masyarakat, UIN Alauddin Makassar

Di Indonesia, teh bukan sekadar minuman, tetapi bagian integral dari budaya dan kebiasaan sehari-hari. Ia hadir dalam berbagai momen: sarapan pagi, menyambut tamu, hingga menjadi pelengkap setelah makan. Kehadirannya memberikan kesan hangat, akrab, dan menenangkan. Namun di balik kenikmatan dan kehangatannya, teh menyimpan bahaya tersembunyi yang jarang disadari, khususnya bila dikonsumsi setelah makan. Salah satu dampak utamanya adalah gangguan terhadap penyerapan zat besi yang bisa berujung pada anemia.

Zat besi adalah mineral penting bagi tubuh manusia. Ia berperan vital dalam pembentukan hemoglobin, yaitu protein dalam sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Ketika tubuh kekurangan zat besi, produksi hemoglobin menurun dan muncullah kondisi yang disebut anemia defisiensi besi. Gejalanya meliputi kelelahan, kulit pucat, detak jantung meningkat, sesak napas, sakit kepala, hingga penurunan daya konsentrasi. Bagi anak-anak dan remaja, anemia bisa menghambat perkembangan fisik dan kognitif. Pada orang dewasa, dampaknya terlihat dari turunnya produktivitas kerja dan kualitas hidup.

Yang jarang diketahui banyak orang, teh mengandung senyawa tanin dan polifenol yang ternyata dapat menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh. Kedua senyawa ini bekerja dengan cara mengikat zat besi di dalam saluran pencernaan, membentuk senyawa kompleks yang tidak larut dan tidak dapat diserap oleh usus. Efek ini terutama terjadi pada zat besi non-heme, yang berasal dari sumber nabati seperti bayam, brokoli, tahu, kacang-kacangan, dan biji-bijian.
Beberapa penelitian ilmiah menguatkan kekhawatiran ini. Salah satunya dipublikasikan dalam The American Journal of Clinical Nutrition, yang menyebutkan bahwa konsumsi teh bersamaan dengan makanan bisa menurunkan penyerapan zat besi hingga 60-70 persen. Konsentrasi tanin yang tinggi dalam teh hitam atau teh hijau memperparah kondisi ini. Dengan kata lain, kebiasaan minum teh setelah makan bukan hanya sepele, melainkan bisa berdampak serius jika dilakukan secara terus-menerus.

Kondisi ini menjadi semakin mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan tingginya prevalensi anemia di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 dari Kementerian Kesehatan, lebih dari 30 persen remaja putri di Indonesia mengalami anemia. Ini adalah angka yang signifikan dan patut menjadi perhatian, sebab remaja putri nantinya akan menjadi ibu hamil yang memerlukan cadangan zat besi dalam jumlah cukup. Anemia pada ibu hamil meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, seperti perdarahan saat persalinan, bayi lahir prematur, berat badan lahir rendah, hingga kematian ibu dan bayi.

Penelitian lokal juga mendukung fakta bahwa teh setelah makan dapat memicu anemia. Sebuah studi di Sekolah Putri Darul Istiqamah, Maros, Sulawesi Selatan, menemukan bahwa 27,1 persen responden yang minum teh dalam satu jam setelah makan mengalami anemia. Sebaliknya, mereka yang menunda minum teh lebih dari satu setengah jam setelah makan tidak mengalami anemia. Hal serupa juga ditemukan dalam studi di Politeknik Kesehatan Banjarmasin, yang menunjukkan adanya penurunan signifikan kadar hemoglobin pada mahasiswa yang terbiasa minum teh setelah makan.

Namun, bukan berarti kita harus menghentikan konsumsi teh sepenuhnya. Teh juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, seperti kandungan antioksidannya yang tinggi, kemampuannya menurunkan risiko penyakit jantung, dan efek menenangkan yang dapat membantu mengurangi stres. Yang perlu dilakukan adalah mengatur cara dan waktu konsumsinya agar tidak mengganggu penyerapan zat gizi penting.

Beberapa langkah sederhana bisa diambil untuk mencegah dampak negatif konsumsi teh:

  1. Tunda minum teh setidaknya 1–2 jam setelah makan, khususnya setelah mengonsumsi makanan yang tinggi zat besi.
  2. Tambahkan makanan yang mengandung vitamin C, seperti jeruk, jambu, tomat, atau paprika ke dalam menu harian. Vitamin C dapat membantu meningkatkan penyerapan zat besi non-heme.
  3. Pilih teh herbal tanpa kandungan tanin, seperti teh chamomile, jahe, atau peppermint, jika ingin menikmati teh setelah makan.
  4. Bagi remaja putri dan ibu hamil, lakukan pemeriksaan kadar hemoglobin secara berkala untuk memantau kondisi tubuh.

Edukasi tentang hubungan antara konsumsi teh dan penyerapan zat besi perlu terus disosialisasikan, terutama di sekolah, kampus, dan fasilitas kesehatan. Pemahaman yang baik akan membantu masyarakat membuat pilihan yang lebih bijak terkait kebiasaan sehari-hari. Karena pada akhirnya, masalah kesehatan tidak hanya bergantung pada apa yang kita konsumsi, melainkan juga kapan dan bagaimana kita mengonsumsinya. Mari kita bersama-sama mulai meningkatkan kebiasaan kecil yang bijak demi kesehatan yang lebih baik. (*)

News Feed