FAJAR, MAKASSAR — Keputusan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menghentikan sementara bantuan dana sharing iuran BPJS Kesehatan dari Program Kesehatan Gratis menuai sorotan tajam. Pemerhati kebijakan publik, Andi Januar Jaury Dharwis, mengingatkan bahwa audit administratif tak boleh mengorbankan hak kesehatan warga miskin.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Sekda Sulsel Nomor 400.7.1/3269/DISKES, tertanggal 26 Maret 2025, yang memerintahkan penghentian sementara pendanaan bagi peserta BPJS yang dibiayai melalui APBD. Alasan utama yang dikemukakan adalah ketidaktepatan data, seperti penerima manfaat yang telah meninggal, pindah domisili, atau sebenarnya mampu secara ekonomi.
Namun menurut Januar, langkah tersebut berisiko menimbulkan kekosongan layanan kesehatan dasar, terutama bagi masyarakat rentan. “Data memang harus dibenahi, tetapi pelayanan kesehatan bagi warga miskin tidak boleh terputus. Pemerintah harus berjalan di dua rel: perbaikan data dan jaminan layanan,” tegasnya.
Masalah Utama: Ketidaksinkronan Data Daerah dan Nasional
Januar menyebut akar masalah terletak pada ketidaksesuaian antara database Pemprov Sulsel dengan sistem nasional JKN–KIS milik BPJS Kesehatan. Ia menyoroti dua hal krusial:
Banyak penerima manfaat di daerah yang tidak sesuai dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.
Terdapat peserta yang seharusnya telah dijamin oleh pusat (PBI-APBN), namun tetap dibiayai oleh APBD, menyebabkan duplikasi pembayaran.
“Solusinya bukan menghentikan layanan, tapi melakukan rekonsiliasi data antar sistem. Pemprov harus duduk bersama Kemensos, Dukcapil, dan BPJS untuk membenahi ini secara terbuka,” katanya.