Kerugian Hatibu sendiri tidak main-main. Nilainya ditaksir sekitar Rp468 juta. Itu adalah dana pensiun yang seharusnya dia terima. Setiap bulan, Hatibu seharusnya menerima Rp3,5 juta lebih. Tetapi karena tersandung kasus ini, dia hanya menerima Rp600 ribuan setiap bulan. Parahnya lagi, itu harus terpotong selama 13 tahun.
”Jadi kalau Rp3 juta saja setiap bulan, maka satu tahun seharusnya Rp36 juta. Kalau 13 tahun, kerugiannya sudah sampai Rp468 juta dong,” ujar Kuasa Hukum Hatibu, Maria Monika Veronika Hayr, kepada FAJAR , Sabtu, 3 Mei.
Maria membeberkan, pada laporan awal di Polda Sulsel, penyidik sudah mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan. Namun jaksa mengembalikan SPDP tersebut pada bulan November 2024, karena dianggap tidak ada progres. Namun hingga sekarang, SPDP baru tak kunjung terbit.
”SPDP ini penting, agar jaksa bisa memantau dan memonitor perkara yang dilaporkan untuk tahapan pra penuntutan. Jadi dengan tidak adanya SPDP, mengindikasikan bahwa perkara ini tidak ditangani dengan seriusi. Dugaan saya, ini tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan, karena sudah lebih satu tahun belum ada penetapan tersangka,” kata dia.
Atas kondisi ini, Maria menduga ada unsur pelanggaran kode etik, bahkan bisa menjadi obstruction of justice atau menghalang-halangi penyidikan. ”Makanya saya laporkan tiga penyidik itu, AKP J, Ipda DA, dan Briptu KA ke Propam Polda Sulsel, karena diduga melakukan perintangan penyidikan,” terangnya.
- Kronologi Perkara
Perkara ini bermula ketika korban (Hatibu) didatangi oleh seseorang berinisial TI, sekitar September 2021 di Takalar. TI membujuk korban untuk melakukan take over kredit dari Bank BRI Takalar ke Bank Woori Saudara Makassar.