Di sisi lain, lanjut Titin, para freelancer banting tulang menciptakan produk konten, ilustrasi, aplikasi, iklan, semua demi klien, yang bahkan tifak mau menandatangani kontrak.
”Mereka bekerja tanpa jam kerja jelas. Siang malam, week day, tidak ada batas. Hanya deadline, revisi, dan penundaan bayaran. Lebih sering mereka patuh demi tidak dipecat karena nasib mereka bergantung pada ketidakjelasan,” tuturnya.
Menurutnya, hal ini bukan kebebasan, melainkan eksploitasi gaya baru. Freelancer dijadikan bantalan ekonomi, tetapi ditinggalkan pada momen tertentu, yang mengharuskan mereka menjadi tumbal efisiensi perusahaan.
”Saat pandemi, mereka ini dijuluki sebagai wirausaha mandiri, tetapi dibiarkan sendiri saat tidak ada penghasilan, saat sakit, atau pada saat tagihan tidak terbayar. Perusahaan cuci tangan, padahal ekonomi digital tumbuh karena kerja-kerja tidak terlihat ini,” tegasnya.
Sementara di depan gedung DPRD Sulsel, massa aksi dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulsel, Konfederasi Serikat Nusantara (KSN), dan sejumlah organisasi buruh lainnya, ditemui Ketua DPRD Sulsel, Andi Rachmatika Dewi.
Di sana, perempuan yang akrab disapa Cicu tersebut menerima aspirasi massa aksi, termasuk sejumlah rekomendasi yang menjadi tuntutan aksi. Kata Cicu, semua itu akan diakomodir dengan baik, sesuai dengan kewenangannya di legislatif.
“Satu hal yang pasti, secara resmi saya mewakili lembaga DPRD Provinsi Sulsel menerima rekomendasi yang teman-teman sampaikan. Kalian adalah tulang punggung perekonomian Sulsel, apa yang menjadi keluhan teman-teman semua akan kami perhatikan dan akan kami tindaklanjuti,” ujarnya.