English English Indonesian Indonesian
oleh

Menuju Arah Pendidikan yang Inklusif dan Kontekstual

Oleh: Yusran, S.Pd., M.Pd.

(Wakasek Kesiswaan SMA Islam Athirah Makassar)

Pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan selama beberapa dekade terakhir, mulai dari reformasi kurikulum, peningkatan akses melalui program wajib belajar, hingga digitalisasi pembelajaran. Namun jika kita menelaah dari sudut pandang sosiologis, pendidikan Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal kesetaraan, relevansi sosial, dan keberpihakan terhadap kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan.

Salah satu masalah utama dalam sistem pendidikan kita adalah kesenjangan sosial dan geografis. Meskipun data statistik menunjukkan angka partisipasi sekolah yang terus meningkat, kenyataannya kualitas pendidikan masih sangat timpang antara wilayah perkotaan dan pedesaan, antara Jawa dan luar Jawa, bahkan antara sekolah negeri dan swasta. Anak-anak dari keluarga dengan latar belakang ekonomi lemah cenderung memiliki akses yang terbatas terhadap fasilitas belajar yang layak, guru berkualitas, dan kesempatan mengikuti pendidikan lanjutan. Dalam tataran sosiologis, ini menciptakan reproduksi ketimpangan sosial di mana pendidikan yang seharusnya menjadi jalan mobilitas vertikal justru memperkuat struktur kelas yang sudah ada.

Sistem pendidikan kita masih sangat berorientasi pada capaian akademik dan nilai ujian, tanpa memperhatikan bahwa peserta didik datang dari latar belakang sosial dan budaya yang beragam. Kurikulum seringkali bersifat seragam dan kurang kontekstual, seolah seluruh anak Indonesia hidup di ruang sosial yang sama. Padahal, anak-anak di Papua, Minangkabau, dan Makassar, memiliki kearifan lokal dan dinamika sosial yang khas. Ketika pendidikan tidak mampu mengakomodasi keragaman ini, maka yang terjadi adalah alienasi: peserta didik merasa bahwa sekolah tidak mewakili realitas hidup mereka.

Pendidikan Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih humanis dan sosiologis. Pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan proses pembentukan identitas sosial, nilai-nilai kemanusiaan, dan kesadaran kritis. Pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mampu memanusiakan manusia menempatkan peserta didik sebagai subjek, bukan objek. Dalam pendekatan ini, nilai empati, gotong royong, dan refleksi sosial menjadi hal yang sama pentingnya dengan pengetahuan teknis.

Kita juga tidak bisa mengabaikan peran guru dalam arah pendidikan ini. Guru adalah ujung tombak sekaligus agen perubahan sosial, sedangkan realitas di lapangan menunjukkan bahwa guru kerap dibebani oleh target administratif dan kurikulum yang kaku, sehingga ruang untuk inovasi dan pendekatan personal kepada murid menjadi sangat terbatas. Pemerintah perlu menyediakan pelatihan dan pendampingan yang mendalam bagi guru untuk membangun sensitivitas sosial dan kultural dalam proses pembelajaran, bukan hanya kemampuan teknis mengajar.

Di samping itu, peran keluarga dan masyarakat juga penting dalam mendukung arah pendidikan yang lebih manusiawi. Pendidikan bukan tanggung jawab sekolah semata. Lingkungan sosial dan budaya anak sangat memengaruhi bagaimana mereka menerima dan memaknai pendidikan. Maka sinergi antara sekolah, keluarga, dan komunitas harus diperkuat agar pendidikan bisa benar-benar kontekstual dan membumi. Kita membutuhkan pendidikan yang membuka ruang dialog antarbudaya, bukan yang menyeragamkan perspektif.

Pendidikan juga harus dilihat sebagai bagian dari proses demokratisasi. Anak-anak perlu didorong untuk berpikir kritis, memahami perbedaan, dan berani bersuara. Sayangnya, budaya pendidikan kita masih sering menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan murid sebagai penerima pasif. Ini bertentangan dengan prinsip pendidikan sosiologis yang menekankan pada interaksi sosial, partisipasi aktif, dan pembentukan kesadaran kolektif.

Jika arah pendidikan Indonesia ingin menjawab tantangan sosial dan membentuk masyarakat yang adil, maka kita harus berani mereformasi tidak hanya isi dan metode pembelajaran, tetapi juga cara kita memandang pendidikan itu sendiri. Pendidikan bukan hanya alat untuk mengejar pekerjaan, tetapi fondasi untuk membangun masyarakat yang inklusif, beradab, dan saling menghargai.

Sebagai negara dengan keberagaman etnis, budaya, dan agama, Indonesia membutuhkan sistem pendidikan yang fleksibel dan berakar pada realitas sosial. Pendidikan yang menyadari bahwa setiap anak membawa cerita, latar belakang, dan potensi yang berbeda. Pendidikan yang tidak hanya menyiapkan anak-anak menjadi “siap kerja”, tetapi juga menjadi warga negara yang peka terhadap ketimpangan sosial, tanggap terhadap persoalan kemanusiaan, dan aktif dalam membangun perubahan. (*/)

News Feed