Oleh: Mohammad Muttaqin Azikin
*Pembelajar Lingkungan Hidup di Sekolah Pascasarjana Unhas
Kepergian Paus Fransiskus bukan hanya meninggalkan duka bagi umat Katolik, melainkan bagi seluruh jiwa yang rindu akan agama yang lembut, membumi, dan penuh kasih.
Ia adalah pelita di tengah dunia yang gelap dan terpolarisasi. Dua warisan utamanya menjelma cahaya: ekologi spiritual dan inklusivitas tak bersyarat. Angin di Vatikan membawa pesan baru ketika ia memperkenalkan Laudato Si’. Sebuah ensiklik yang tak hanya mengguncang doktrin gereja, tetapi mengetuk hati umat manusia. Ia mengajak kita membumikan doa-bukan sekadar untuk keselamatan jiwa, tetapi juga untuk pemulihan tanah, air, dan udara. “Agama harus berhenti hanya membicarakan surga,” katanya, “jika ia membiarkan bumi menjadi neraka bagi generasi mendatang.” Demikian beberapa penggalan puisi esai Denny JA – Ketua Umum SATUPENA Indonesia – sebagai ungkapan duka atas Paus Fransiskus.
Laudato Si’
Sejak Senin 21 April lalu, suasana perkabungan menyelimuti berbagai belahan dunia hingga jadwal pemakaman Sabtu 26 April. Saat saya menuntaskan tulisan ini, prosesi pemakaman Paus Fransiskus di Basilika Santa Maria Maggiore, masih tengah berlangsung. Dalam konteks perbincangan wacana dan diskursus mengenai krisis lingkungan, tidak banyak pemuka agama – tingkat global maupun nasional – yang memiliki perhatian yang serius terhadap isu tersebut. Satu dari yang sedikit itu adalah mendiang Paus Fransiskus. Karena itu, puisi esai Denny JA di atas, sengaja dijadikan pembuka, untuk mengantarkan kita pada salah satu legacy penting Paus Fransiskus bagi lingkungan dan kehidupan global, yakni Ensiklik Laudato Si’. Prof. Dr. Martin Harun menyebutkan bahwa Ensiklik adalah dokumen kepausan untuk gereja universal tentang ajaran Iman Katolik, tapi ada kalanya juga berisi tentang masalah-masalah umum. Sementara istilah Laudato Si’ berasal dari Gita Sang Surya (1224) oleh Fransiskus dari Assisi, “Laudato Si’, mi Signore” yang bermakna “Terpujilah Engkau, Tuhanku.”
Ensiklik Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus (2015) adalah merupakan seruan moral untuk menjaga lingkungan dan memperbaiki hubungan manusia dengan alam. Tujuannya, tak lain untuk menggugah kesadaran global terhadap krisis lingkungan yang berdampak pada alam dan manusia. Laudato Si’, tidak hanya mengajak umat manusia untuk menyadari dan merespons berbagai krisis lingkungan yang sedang terjadi, tetapi juga memperkenalkan sebuah pendekatan yang disebutnya ekologi yang integral.
Ekologi integral ialah pendekatan holistik yang menggabungkan berbagai aspek kehidupan, mulai dari lingkungan, ekonomi, sosial hingga budaya, untuk menciptakan solusi berkesinambungan bagi krisis ekologi yang kita hadapi sekarang ini. ekologi integral mengakui bahwa lingkungan, ekonomi dan sosial adalah bagian yang tak terpisahkan. Sebab itu, ketika berbicara tentang “lingkungan”, maka itu menggambarkan cakupan hubungan antara alam dan masyarakat yang menghuninya. Paus Fransiskus menekankan bahwa tidak ada dua krisis yang terpisah – satu krisis lingkungan dan satu krisis sosial – melainkan sebuah krisis sosial-lingkungan yang kompleks. Oleh karena itu, upaya pemecahan yang diperlukan mestilah komprehensif serta mempertimbangkan interaksi sistem-sistem alam dan sosial.
Spiritualitas dan Pertobatan Ekologis
Di bagian akhir dari Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus mengungkap sebuah bahasan menarik tentang spiritualitas dan pertobatan ekologis. Hal ini mengingatkan kita akan posisinya sebagai salah satu Pemuka Agama Dunia. Ia berkata, pandangan iman kita tentang alam ciptaan, hendaknya menghasilkan hidup rohani yang ekologis. Kita hanya dapat tekun melibatkan diri dalam pelestarian bumi, bila ada dorongan batin yang menyemangati aksi kita, sendirian ataupun bersama-sama. Karena itu, yang dibutuhkan adalah pertobatan ekologis. Dan itu berarti, membiarkan perjumpaan kita dengan Allah Pencipta mengubah hubungan kita dengan bumi. Melindungi karya ciptaan Allah menjadi bagian hakiki kehidupan iman kita. Romo Martin mendaku, keyakinan iman yang memperkuat pertobatan antara lain: a). bahwa setiap makhluk mencerminkan sesuatu dari Allah, dan membawa pesan untuk kita; b). bahwa Allah menuliskan di alam ciptaannya suatu tata tertib dan irama, yang tak boleh kita abaikan.
Lantas, pertanyaan reflektifnya, bagaimana kepedulian serta perhatian para Pemuka Agama Islam dan Kaum Muslimin yang mayoritas di negeri ini, terhadap masalah lingkungan hidup? Karen Amstrong mengingatkan dalam buku Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam, “Al-Quran senantiasa menyeru umat Islam agar mereka selalu menyadari kasih sayang Tuhan di alam. Dunia alami adalah epifani (tajalli) Ilahi yang tidak selalu dapat dipahami oleh cara berpikir biasa. Jadi, umat Islam harus melatih diri untuk melihat hal-hal di balik penampakan alam dan menyadari kekuatan Ilahi di dalamnya.” Wallahu a’lam bisshawab. (*/)