English English Indonesian Indonesian
oleh

INDEEPTH! Kades Sapi Perah Pers-LSM Abal-abal

MAKASSAR, FAJAR–Tak semua pers-LSM menjalankan fungsi ideal. Banyak yang menyimpang dengan menjadi pemeras.

PERS dan LSM abal-abal ini datang ke kantor desa mencari kesalahan. Ujung-ujungnya mereka hanyameminta uang. Modusnya beragam. Ada yang datang dengan cara “sopan”, ada pula dengan mengancam.

“Banyak sekali yang datang ke kantor,” ujar Muis, Sekretaris Desa Malenggang, Kecamatan Bupon, Kabupaten Luwu, kepada FAJAR, Minggu, 27 April 2025. Muis tidak menyebut nilai uang yang diminta para wartawan dan LSM paslu tersebut.

Pengakuan serupa juga disampaikan Rizal Mubarak, Kepala Desa Lara, Kecamatan Baebunta Selatan, Kabupaten Luwu Utara. Dia mengaku pada awal-awal menjabat kepala desa, sering ditadatangi wartawan dan LSM palsu.

“Mereka berlagak polisi dan mengaku dari Kota Makassar dan Kabupaten Bone yang melintas di Luwu Utara,” kata Risal.

Ada kartu identitas digantung di leher ala detektif yang mirip logo polisi. Kalau kades kalah sugesti, pasti akan dimintai uang. Berbekal pernah jadi aktivis kampus, Risal melawan wartawan dan LSM abal-abal tersebut.

“Kalau sekarang tidak ada-mi datang di Desa Lara,” papar Bandahara Pemudah Muhammadiyah Luwu Utara itu.

Dia menduga persoalan yang dibawa ke kantor desa, informasinya didapatkan dari masyarakat. Malah, pekerjaan yang ada di desa mereka tinjau langsung ke lapangan. Usai peninjauan, baru datang mencari kades.

Pers-LSM abal-abal ini memanfaatkan minimnya pengetahuan kades tentang pers dan LSM itu sendiri. Karenanya, Risal menyarankan perlunya pembekalan agar kades bisa membedakan pers-LSM asli dan palsu. Sebab, banyak oknum yang menyalahgunakan profesi.

Tumbuh Subur

Fenomena pemalakan oleh oknum LSM dan pers gadungan tumbuh subur di daerah. Di Bone, misalnya, kades kerap diancam dan dipalak hingga jutaan rupiah mereka.

Koordinator Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop) Sulsel, Samsang Syamsir, menilai pemerintah belum menunjukkan keseriusan dalam mengawasi dan mengevaluasi organisasi yang mengatasnamakan pers-LSM.

“Sudah lama ini menjadi keresahan bersama. Kita sering diskusikan di banyak forum, tapi sampai hari ini praktik itu masih berlangsung terus,” ungkap Samsang.

Tidak adanya langkah konkret dari pemerintah menjadi faktor utama suburnya praktik pemalakan ini. Meski UU Yayasan dan Perkumpulan memberikan ruang seluas-luasnya untuk pembentukan organisasi masyarakat sipil, pemerintah tidak boleh lepas tangan.

Regulasi pembentukan harus diikuti dengan mekanisme evaluasi berkala terhadap aktivitas organisasi tersebut. “Selama ini tidak ada evaluasi. Harusnya kalau ada temuan pelanggaran, langsung dilakukan evaluasi, bahkan kalau perlu cabut izinnya,” sambungnya.

Samsang mengaku mengantongi banyak data terkait nama-nama NGO dan media gadungan yang kerap menimbulkan keresahan di tengah masyarakat dari berbagai daerah di Sulsel.

Bahkan, ada organisasi yang menggunakan nama yang mirip dengan lembaga yang ia pimpin untuk memperdaya aparat pemerintahan. “Sangat banyak kami temukan di lapangan. Bahkan ada lembaga yang namanya mirip dengan kami,” tuturnya.

Ia mencontohkan adanya kasus seorang kades yang baru seminggu dinyatakan menang dalam sengketa, bahkan belum menduduki kursi jabatan, namun sudah didatangi oleh oknum yang mengaku dari LSM dan media untuk dipalak.

Kasus pemalakan terhadap kades oleh oknum LSM yang dilaporkan Apdesi ke polisi di Wajo, juga menjadi bukti nyata maraknya praktik ini di lapangan.

“Banyak ditemukan di Wajo. Kasus yang saya temukan tadi itu juga di wajo. Saya tahu nama-nama LSM-nya di situ yang sudah melakukan pemalakan,” beber Samsang.

Pun usulan yang diajukan sejumlah daerah dinilai tidak begitu efektif. Dia mencontohkan yang terjadi di Bone dengan membatasi akses media demi menghalangi pertumbuhan LSM dan media gadungan.

Samsang menolak keras opsi ini. Sebab, menurutnya, langkah tersebut justru akan merugikan media yang bekerja secara ideal dan profesional. “Kalau saya tidak setuju, kalau mau batasi akses media hanya dengan alasan itu. Media yang betul idealis akan terdampak,” sambungnya.

Maraknya pembentukan NGO dadakan juga dipicu oleh kepentingan proyek. Banyak organisasi yang sengaja dibentuk hanya untuk menjadi kaki tangan dari pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi, bukan untuk menjalankan fungsi kontrol sosial dan pengawasan kebijakan publik.

Karena itu, Samsang mendorong pemda segera mengambil langkah tegas. Kanal aduan resmi bagi aparat desa dan masyarakat yang menjadi korban pemalakan mesti dibuka, serta memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap mereka.

“Pemerintah harus mengedukasi kepala desa dan kepala dinas. Berikan jaminan perlindungan keamanan, buka kotak aduan, tindaklanjuti laporan-laporan itu. Jangan dibiarkan,” serunya.

Ketidaktahuan kepala desa tentang hukum dan administrasi pemerintahan sering menjadi celah yang dimanfaatkan oleh oknum pemalak, baik dari pers, maupun dari LSM palsu.

Banyak kepala desa yang akhirnya menyerah karena merasa bersalah atau tidak tahu apakah tindakan mereka benar atau salah. Solusinya perlu adanya edukasi kepada mereka.

Kolaborasi antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil yang idealis, serta lembaga bantuan hukum untuk mendampingi kepala desa dan aparat pemerintahan lainnya, sangat diperlukan.

Seluruh pihak, termasuk masyarakat sipil, tidak boleh ragu melaporkan tindakan pemerasan atau pemalakan yang dilakukan oleh oknum LSM atau media gadungan. Laporan itu sangat penting untuk mengidentifikasi apakah organisasi tersebut benar-benar profesional atau hanya dibentuk untuk kepentingan tertentu.

“Semua harus mengambil peran. Tapi yang paling inti yang kita tunggu-tunggu selama ini adalah adanya evaluasi dari pemerintah, serta peran edukasi dan perlindungan terhadap aparat desa dan pejabat pemerintahan yang selama ini menjadi korban,” tutupnya.

Ada Potensi Pidana

BUKAN cuma LSM profesional yang dirugikan, jurnalis kompeten juga merasakan dampaknya. Nama mereka tercemar akibat ulah pers-LSM palsu alias abal-abal.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar angkat suara terkait dengan maraknya oknum yang mengatasnamakan LSM dan wartawan di daerah, sehingga menjadi keresahan para aparat desa dan pejabat.

Praktik pemerasan dengan membawa identitas pers dan LSM, sangat merugikan. Para kades seharusnya tidak melayani para oknum yang mengatasnamakan LSM atau wartawan yang membuat keresahan, hingga tak jarang melakukan pemerasan.

“Seharusnya kades ini sebagai penanggung jawab desa paham, sehingga jangan melayani oknum-oknum yang mengatasnamakan jurnalis, namun tidak menjalankan kerja-kerja jurnalistik, justru melakukan pemerasan,” ungkap Ketua AJI Kota Makassar, Didit Hariyadi.

Apabila kades atau pejabat keberatan atas pemerasan, sebetulnya mereka dapat melapor secara langsung kepada aparat kepolisian agar tidak meresahkan dan tidak terulang lagi ke depannya. Langkah itu lebih baik, ketimbang bernegosiasi.

“Kalau memang mades keberatan, ya, laporkan pidana saja dengan dalil pemerasan,” katanya.

Selain itu, jurnalis juga perlu memahami kode etik dengan tidak merangkap sebagai anggota LSM. “Kalau mau jadi jurnalis, ya, jurnalis, dan LSM, ya, LSM. Jangan berperan ganda,” jelasnya.

AJI juga menekankan kepada jurnalis selain tidak boleh merangkap sebagai LSM juga harus menjalankan tugas jurnalistik berdasarkan kode etik.

“Intinya itu seorang jurnalis harus berpegang teguh pada kode etik dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik karena itu tolok ukur profesionalnya,” imbuh jurnalis TEMPO itu.

Lapor ke Polisi

Bupati Wajo Andi Rosman merespons kasus pemerasan yang dilakukan oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada kades. Dia mengaku banyak menerima keluhan dan laporan dari beberapa pejabat di Wajo terkait ulah oknum LSM dan pers yang meresahkan.

“Pekan depan kita akan rapat (penanganan, red). Makanya sementara saya minta datanya lewat Kesbangpol,” ujar Rosman.

Upaya penertiban untuk mengatur atau mengendalikan berupa pengawasan ketat dan penyesuaian regulasi. Bahkan pembekuan atau pembubaran yang dianggap melanggar hukum atau merugikan masyarakat.

Berdasarkan data yang diterima FAJAR dari Kesbangpol, terdapat 77 Organisasi Kemasyarakatan (Orkemas) yang melaporkan keberadaan di Wajo. Jumlah tersebut sudah termasuk LSM di antaranya.

“Ada ada sekitar 4 Orkemas yabg sementara pengajuan untuk diverifikasi,” tutur Sekretaris Kesbangpol Wajo, Marzam Pallawagau.

Dari jumlah Orkemas terdaftar di Kesbangpol, satu di antaranya berkasus. Oknum dari lembaga tersebut dilaporkan kuasa hukum Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) ke Polres Wajo beberapa waktu lalu.

Ada pula dua LSM dari luar yang turut dilaporkan atas kasus dugaan pemerasan terhadap Kades Benteng Lompoe, Kecamatan Sabbangparu, Herman.

“Jumlah LSM banyak karena beranak pinak. (Orangnya) keluar, kemudian buat lembaga dan kepengurusan baru,” beber Kepala Kesbangpol Wajo, Sony Paisal.

Secara ideal, keberadaan LSM sebagai kontrol sosial di masyarakat memberikan kontribusi kepada pemda dalam mencegah tindakan penyimpangan atau penyalahgunaan.

“Tapi kalau dia meminta sesuatu atau memeras, itu berarti ada pungutan liar (pungli) dilakukan. Kami akan menginventarisasi kembali LSM yang sudah terdaftar,” tutupnya.

Mulai Seleksi Media

Sementara itu, sejumlah daerah melakukan inisiatif untuk memberantas keberadaan LSM dan media gadungan. Bupati Bone Andi Asman Sulaiman, misalnya, memilih menyeleksi media yang ia percaya.

Ia menginstruksikan kadesnya agar hanya berkomentar ke media yang telah direkomendasikannya. Rekomendasi yang ia maksud adalah dengan memberikan identitas khusus ke media-media terpercaya. Mereka yang mengantongi identitas ini yang boleh direspons oleh kades.

Meski cukup kontroversial, Asman mengaku memiliki kepentingan untuk melindungi citra media, sebab LSM dan media gadungan ini kerap melakuan tindakan yang benar-benar membuat pemerintah kewalahan.

“Untuk kepala desa, jika media yang ingin konfirmasi, kalian jangan dulu berikan informasi jika tidak ada persetujuan atau rekomendasi dari saya,” jelas Asman.

FAJAR yang mencoba menginfirmasi Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Bone tak mendapatkan respons. Sementara itu Kepala Bagian Hukum Bone Ramli masih hemat bicara terkait perlindungan hukum terhadap kades dan pejabat pemerintah yang diperas oknum.

“Saya mau lihat dulu yang mana yang dimaksud,” ujar Ramli. (shd-an-man-fit/zuk)

Modus
Parasit
Demokrasi

Cari Celah
-Pers dan LSM abal-abal mencari-cari kesalahan
-Bukannya diadvokasi, temuan dijadikan bahan bargaining dan ancaman
-Tawar menawar terjadi
-Kades dimintai dana sebagai syarat tutup mulut

Selisik Info
-Sebelum menemui kades, pers-LSM abal-abal cari info
-Terutama dugaan penyimpangan
-Jika berbentuk proyek, mereka turun lapangan mendokumentasi
-Selanjutnya mencari kades untuk negosiasi

Jenis Ancaman
-Mengancam akan memberitakan
-Mengancam akan melaporkan ke APH
-Kondisi ini membuat pers-LSM abal-abal disebut parasit demokrasi

Yang Ideal
-Pers dan LSM sejati tak main ancam
-Temuan langsung diolah, dianalisis, lalu diberitakan atau dilaporkan ke APH
-Tak ada negosiasi, apalagi transaksi
-Dengan begitu, demokrasi berjalan baik

News Feed