Dalam hal sektor industri, Prof Marsuki juga menekankan urgensi hilirisasi industri sebagai strategi transformasi ekonomi yang konkret. Ia menilai bahwa selama ini hilirisasi sering hanya dijadikan slogan tanpa eksekusi yang jelas dan konsisten. Padahal, menurutnya, potensi Indonesia untuk membangun industri berbasis sumber daya alam sangat besar, mulai dari nikel, bauksit, hingga hasil pertanian dan perikanan.
“Hilirisasi industri adalah jantung dari strategi pembangunan ekonomi jangka panjang. Kita tidak bisa terus mengekspor bahan mentah lalu mengimpor kembali dalam bentuk barang jadi. Ini saatnya kita memproduksi sendiri, menambah nilai di dalam negeri, dan membuka lapangan kerja yang berkualitas,” tegasnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah menyusun peta jalan hilirisasi yang realistis, melibatkan pelaku usaha lokal, dan memberikan insentif fiskal serta kemudahan perizinan bagi sektor-sektor strategis. Marsuki menekankan bahwa peran negara bukan sekadar sebagai regulator, tetapi juga harus menjadi fasilitator dan katalisator transformasi industri nasional.
Selain itu, ia menggarisbawahi pentingnya pembangunan infrastruktur pendukung industri, termasuk kawasan industri terpadu, pelabuhan, dan logistik berbasis digital. Menurutnya, tanpa ekosistem yang efisien dan terintegrasi, hilirisasi hanya akan menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.
“Jika kita ingin menciptakan ekonomi yang tahan banting dan berdaya saing global, maka tidak ada pilihan lain selain mempercepat reformasi struktural. Tapi reformasi ini harus menyeluruh, menyentuh politik, birokrasi, hukum, dan tentunya sistem ekonomi nasional kita. Pemerintah harus bertindak cepat, terkoordinasi, dan tidak terjebak pada rutinitas birokrasi,” pungkasnya. (edo)