“Kami diminta jual ke mitra Bulog, tapi tidak ada jaminan armada Bulog akan datang jemput gabah. Sementara kami tidak bisa tunggu lama-lama. Kalau terlambat panen, bisa rugi,” ujar petani milenial ini.
Ia menambahkan, karena panen terjadi serentak di banyak desa, pembina pertanian tidak bisa mengawal semua secara merata. Hal itu membuat petani lebih memilih menjual ke tengkulak meski dengan risiko kerugian.
“Daripada gabah rusak, lebih baik kami jual ke swasta. Setidaknya kami tetap bisa dapat hasil,” pungkasnya. (ams)