English English Indonesian Indonesian
oleh

Paradoksi Pemberantasan Korupsi

Spektrum: Saharuddin Daming

Di tengah gegap gempita narasi pemberantasan korupsi yang kerap dikumandangkan para elite, justru realitas di lapangan menunjukkan gambaran yang jauh dari ideal. Indonesia, yang telah memiliki berbagai perangkat hukum dan lembaga antirasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan POLRI, justru menyaksikan ironi besar ketika para penegak hukum dan pejabat yudisial yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, malah terjerembab ke dalam kubangan praktik korupsi itu sendiri. Ini bukan sekadar kegagalan teknis atau moral individu, melainkan cermin retaknya sistem integritas institusional dalam penegakan hukum Indonesia.

Awal tahun 2025 menjadi babak kelam dalam dunia peradilan ketika Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang terlibat dalam kasus gratifikasi. Ketiganya—Erintuah Damanik, Heru Hanindyo,Mangapul—diduga menerima suap dalam rangka menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa Gregorius Ronald Tannur, yang didakwa membunuh kekasihnya, Dini Sera Afriyanti. Dalam pengembangan kasus ini, Ketua PN Surabaya, Rudi Pramono, juga terseret sebagai dalang utama rekayasa perkara. Advokat terdakwa, Lisa Rahmat, berperan sebagai perantara yang menghubungkan pemberi gratifikasi—yakni ibu Ronald—dengan para hakim.

Namun pukulan paling telak terhadap kredibilitas lembaga peradilan terjadi saat penyidik berhasil mengungkap keterlibatan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricard, yang menyimpan uang hampir Rp.1 triliun di kediamannya. Fakta ini sontak mengguncang opini publik dan membuat pertanyaan besar kembali menggema: bagaimana bisa lembaga setinggi Mahkamah Agung memiliki pejabat yang terlibat dalam praktik sekeji itu?

Luka yang belum kering dari skandal Surabaya, kembali dikoyak pada 19 Maret 2025, ketika majelis hakim Tipikor Jakarta yang diketuai oleh Julianto, bersama dua anggotanya, Ali Muhtarom dan Adam Syarif Baharuddin, memutus lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag van rechtsvervolging) tiga perusahaan raksasa—PT Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—yang menyalahgunakan izin ekspor CPO. Meskipun dakwaan Jaksa Penuntut Umum menunjukkan nilai kerugian negara yang sangat masif.

Ketiga perusahaan tersebut seharusnya membayar denda dan uang pengganti mencapai total lebih dari Rp17 triliun, antara lain:

  • PT Wilmar Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp11,88 triliun dengan ancaman subsidiair penjara 19 tahun bagi Direktur, Tenang Parulian.
  • Permata Hijau Group dituntut membayar Rp937 miliar, dengan ancaman subsidiair 12 bulan penjara bagi David Virgo.
  • Musim Mas Group dikenai tuntutan pengembalian kerugian negara sebesar Rp4,89 triliun, dengan ancaman subsidair 15 tahun penjara bagi Dirutnya, Gunawan Siregar.

Ketimbang menjalani proses hukum dengan denda yang sangat fantastis, pimpinan perusahaan lebih memilih celah hukum demi menghindari tanggung jawab tersebut. Mereka meminta advokat mereka, Aryanto dan Marsela Santoso, untuk membangun jaringan mafia hukum dengan Panitera Muda PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, sebagai pintu masuk. Kunci dari pengaturan perkara ini ternyata berada pada sosok Muhammad Arif Nuryanta, Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, yang sempat dipromosikan menjadi Ketua PN Jakarta Selatan saat ia ditangkap. Arif menerima gratifikasi sebesar Rp.60 miliar dari pihak terdakwa dan mendistribusikannya kepada majelis hakim untuk memastikan putusan dibacakan persis seperti yang dituliskan dalam pledoi tim pembela terdakwa.

Fenomena ini semakin mencoreng wajah peradilan. Padahal pengadilan adalah benteng terakhir peradilan namun benteng tersebut runtuh karena pengkhianatan para hakim sendiri. Publik muak dan geram dengan janji MA untuk melakukan pembenahan besar-besaran di semua lingkungan peradilan. Status “wakil Tuhan” yang selama ini dilekatkan pada hakim semakin dipertanyakan. Bagaimana mungkin, wakil Tuhan tega memperjualbelikan kebenaran dan keadilan demi fulus haram?

Namun paradoks ini tidak berhenti di lembaga yudikatif. Dalam tahap penyidikan dan penuntutan pun praktik serupa marak terjadi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian oknum penyidik di institusi kepolisian memperjualbelikan perkara dengan harga puluhan juta rupiah untuk membebaskan tersangka.
Mengeksploitasi kewenangan penahanan sebagai alat tawar. Jaksa-jaksa nakal pun ikut bermain, dengan menerapkan pasal yang meringankan atau memberatkan sesuai nilai upeti. Tidak heran jika lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dipopulerkan band Sukatani menjadi sangat relevan menggambarkan situasi ini, meski akhirnya dilarang karena dianggap mendiskreditkan institusi kepolisian.

Lebih jauh, paradoks pemberantasan korupsi juga tercermin pada inkonsistensi partai politik dan masyarakat. Saat Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap terkait pelarian Harun Masiku, bukannya mendukung proses hukum, partainya justru melawan dan menyerang KPK secara membabi-buta karena dianggap tendensius dan politisasi. Padahal, sebagai partai pengusung revisi UU Pemberantasan Korupsi, PDI-P seharusnya berdiri di garda depan mendukung integritas KPK—sebagaimana dilakukan partai lain seperti Gerindra yang menolak memberi perlindungan hukum bagi kadernya yang korup.

Doktrin “corruption is the common enemy” yang selama ini dijunjung tinggi, tampaknya hanya menjadi slogan kosong yang mudah dikalahkan oleh loyalitas pribadi dan kepentingan politik.

Maka tak berlebihan jika dikatakan, bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia lebih merupakan retorika hipokrit dan apologi belaka, yang selalu menjadi polesan naratif untuk kepentingan citra penegak hukum. Paradoks besar ini tidak hanya merusak sistem hukum, tetapi juga meracuni moral kolektif bangsa. Jika kondisi ini terus dibiarkan, kita hanya akan menjadi saksi dari negara hukum yang perlahan berubah menjadi negara sandiwara. (*/)

News Feed