FAJAR, JAKARTA – Kemacetan panjang di sekitar Kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Kamis, 17 April 2025, diperkirakan menjadi salah satu yang terparah sepanjang tahun.
Namun kemacetan bukanlah hal baru bagi kawasan pelabuhan ini. Bagi para sopir truk, kemacetan sudah menjadi bagian dari rutinitas. Sejak Kamis malam hingga Jumat pagi, antrean kendaraan mengular sepanjang 8 kilometer dari Sungai Bambu hingga gerbang Pelabuhan Tanjung Priok.
Akses menuju Pelabuhan Tanjung Priok saat ini hanya mengandalkan jalan raya. Sementara itu, akses jalur rel semakin ditinggalkan karena dinilai mahal dan tidak praktis.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata yang juga menjabat Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menilai bahwa mahalnya biaya angkutan rel disebabkan oleh penggunaan BBM non-subsidi, dikenakannya PPN 11 persen, serta adanya beban track access charge (TAC).
“Moda transportasi jalan umumnya lebih murah jika digunakan untuk angkutan jarak pendek, yakni kurang dari 500 km. Untuk kereta api lebih kompetitif pada jarak menengah antara 500–1.500 km, dan untuk jarak lebih dari 1.500 km moda transportasi laut akan lebih murah,” tulis Djoko.
Ia menyoroti bahwa di sektor laut tidak ada pedoman yang baku untuk menghitung kapasitas pelabuhan seperti halnya bandara. Pembangunan di Pelabuhan Tanjung Priok selama ini lebih berfokus pada sisi laut, sementara kapasitas sisi darat nyaris tidak mengalami pengembangan.
Menurut Djoko, perhitungan kapasitas pelabuhan semestinya mencakup ketersediaan tempat parkir truk, toilet, dan fasilitas pendukung lainnya. Kapasitas terendah dari semua komponen itulah yang seharusnya menjadi patokan utama.
“Jika hal yang sangat mendasar ini diabaikan, maka kemacetan lalu lintas akan terus terjadi,” tambahnya.
Ia menilai kawasan Pelabuhan Tanjung Priok perlu ditata ulang, termasuk pengadaan zona penyangga (buffer zone) yang idealnya berjarak minimal satu kilometer dan bebas dari bangunan.
“Kita harus ikuti layout asli kawasan pelabuhan zaman Hindia Belanda dengan batas pelabuhan dari Cempaka Mas hingga ke arah timur,” ungkap Djoko.
Sementara itu, besarnya biaya parkir sebesar Rp17.500 per kali masuk ke pelabuhan dinilai sangat memberatkan sopir truk, karena dibebankan dari uang jalan yang mereka terima.
Djoko mengkritik sistem konsesi perparkiran yang menurutnya tidak jelas manfaat dan peruntukannya. Ia menekankan bahwa ruang publik bukanlah ladang untuk menghasilkan keuntungan, melainkan digunakan untuk pelayanan masyarakat sesuai aturan yang ada.
“Penarikan biaya di ruang publik harus jelas manfaat dan tujuannya. Kebijakan di sektor publik seperti pelabuhan dan jalan tol seharusnya hanya bersifat cost recovery, bukan mencari keuntungan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti mahalnya biaya logistik di Indonesia yang jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Hal ini disebabkan oleh kebijakan yang keliru, proses perizinan yang mahal dan rumit, serta masih maraknya pungutan liar oleh oknum aparat dan preman.
“Semua biaya tambahan seperti ini sangat membebani, sehingga Indonesia kehilangan daya saing. Pemerintah pun kerap tidak berpihak pada pelaku lokal,” ujarnya.
Djoko juga menilai kemacetan parah ini sebagai akibat dari kesalahan kebijakan pembatasan angkutan logistik selama Lebaran yang terlalu lama, yakni hingga 16 hari. Menurutnya, pembatasan semestinya tidak lebih dari lima hari agar tidak mengganggu arus logistik.
Kondisi ini menyebabkan aktivitas bongkar muat di pelabuhan menumpuk bahkan tersendat, yang dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Di sisi lain, kemacetan yang terjadi juga menjadi pelajaran agar angkutan barang berbasis rel lebih diutamakan dibanding jalan raya. Dulu, di masa kolonial Belanda, jalur rel sudah terhubung dengan pelabuhan untuk memperlancar arus distribusi barang. Kini, hampir seluruh jalur tersebut telah diputus, kecuali di Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap.
Sejumlah pelabuhan yang dulu dilengkapi jalur rel dan zona penyangga seperti Belawan, Teluk Bayur, Panjang, Tanjung Priok, Tanjung Emas, Juwana, hingga Tanjung Perak kini telah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman.
“Oleh karena itu, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan tersebut agar tidak merugikan masyarakat dan negara. Jangan sampai kesalahan serupa terulang dan menghambat pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya. (an)