Nurul Ilmi Idrus
Asal-usul konsep halalbihalal memiliki beragam versi. Namun, istilah berbahasa Arab ini berasal dari kata halla yang mengandung tiga makna, yakni yaitu halal al-habi (benang kusut terurai kembali); halla al-maa (air keruh diendapkan); dan halla as-syai (halal sesuatu). Dengan demikian, halalbihalal diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Padahal, halalbihalal sebenarnya adalah tradisi asli buatan orang Indonesia. Menurut Ustadz Das’ad Latif, halalbihalal adalah istilah berbahasa Arab versi Indonesia, yang berarti menghalalkan yang tadinya tidak halal dan dalam Bahasa Paris (Pare-pare dan sekitarnya) adalah sihallalakeng (saling menghalalkan), yang bermakna sebagai perintah persaudaraan. Dalam KBBI, halalbihalal berarti meminta maaf. Pada kenyataannya tradisi ini memang merupakan sebuah tradisi saling memaafkan antar umat Islam yang dilakukan setelah lebaran Idul Fitri.
Tradisi ini kemudian berkembang dengan disertakannya gelar griya yang populer dengan istilah open house, baik di rumah, maupun di instansi dimana seseorang bekerja. Jika menilik pada istilahnya, maka siapa saja dapat ke tempat open house sebagai tamu untuk bersilaturahmi. Biasanya orang mengobrol santai, makan-minum, atau bahkan menjadi ajang komunikasi politik bagi yang berkepentingan. Jika menilik ke belakang, maka pada tahun 1946, K.H. Wahab Chasbullah mengusulkan agar tradisi halalbihalal dijadikan sebagai ajang untuk mempromosikan ajaran ahlussunah wal jamaah dan menyatukan berbagai ulama serta elit politik ketika situasi politik di Indonesia sedang tidak baik-baik saja saat itu. Menurut E. Durkheim dalam Teori Struktural Fungsionalisme, ajang (baca: silaturrahmi melalui halalbihalal) semacam ini membantu memperkuat solidaritas sosial dan mempertahankan kohesi sosial di masyarakat.
Setiap habis lebaran undangan halalbihalal datang dari berbagai keluarga/komunitas/kelompok. Di media-media sosial kita dapat menyaksikan berbagai postingan terkait. Semakin luas keluarga dan/atau semakin banyak komunitas/kelompok yang diikuti, semakin banyak pula undangan halalbihalal. Jika dikaitkan dengan keluarga, maka ada undangan keluarga ini keluarga itu, keluarga arung/karaeng ini arung/karaeng itu. Bila dikaitkan dengan reuni, maka undangan halalbihalal datang dari beragam level, ada halalbihalal dari tingkat SD, SMP, SMA, PT (yang juga bisa beragam, mulai dari S1, S2, hingga S3). Individu tinggal memilih yang mana yang akan atau dapat diikuti, yang mana diabaikan atau terpaksa diabaikan karena ada acara yang bertepatan dimana yang bersangkutan harus memilih. Pemilihan ini biasanya didasarkan pada keintiman dengan anggota dari suatu keluarga/kelompok/komunitas, kenyamanan, dan atmosfer dalam berinteraksi dengan anggota keluarga/kelompok/komunitas karena orang datang bukan hanya untuk saling memaafkan, tapi juga untuk menikmati suasana halalbihalal tersebut. Tradisi ini menjadi momen untuk mempererat tali persaudaraan dan menjaga keharmonisan di antara umat. Minal Aidin Walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin, semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadan berikutnya, berlebaran, dan ber-halalbihalal.