Oleh M. Qasim Mathar
Seorang muslimat atau perempuan dewasa muslim, karena kodratnya, setiap bulan dia haid (menstruasi) atau disebut juga “datang bulan”. Pada kondisi perempuan haid, tentu tidak berpuasa pada hari-hari dia haid di bulan puasa Ramadan.
“Datang bulan atau menstruasi adalah proses keluarnya darah dari vagina yang terjadi setiap bulan. Ini merupakan proses alami yang dialami wanita sebagai bagian dari organ reproduksi”. Perempuan remaja saat berusia 12 tahun, biasanya sudah mulai haid. Keadaan haid itu berlangsung hingga seorang perempuan memasuki pase menopause, pase perempuan tidak lagi haid.
Perempuan haid biasanya tampak lesu dan lemah. Keram perut, nyeri pada dada, kembung, mood swings (perubahan suasana hati), mudah marah, sakit kepala, menjadi hal-hal yang dialami oleh perempuan yang haid. Bahkan dikatakan bahwa munculnya jerawat merupakan di antara tanda perempuan akan haid.
Karena haid, perempuan muslimat meng-qadha (mengganti) puasa yang dia tinggalkan pada hari di luar bulan puasa Ramadan sebanyak hari dia tidak berpuasa Ramadan. Perhatikan ayat 184 surat Albaqarah yang artinya sebagai berikut:
“(kewajiban berpuasa itu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (tidak puasa), maka (diganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Mengganti puasa Ramadan disebut puasa qadha. Perempuan haid mengganti puasa yang dia tinggalkan dengan puasa qadha. Puasa qadha dapat dilakukan segera setelah Ramadan, kecuali pada hari-hari yang diharamkan, seperti Hari Raya Idulfitri (1 Syawal), Hari Raya Iduladha (10 Zulhijah), dan hari-hari Tasyrik (11-13 Zulhijah).
Dulu, dan juga sekarang, saya berpendapat, perempuan yang tidak berpuasa karena haid, boleh menggantinya dengan dua cara, seperti yang tersebut dalam surah Albaqarah ayat 184 di atas. Yaitu, boleh dengan puasa qadha, boleh juga dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari puasa yang dia tinggalkan. Jika dia memilih membayar fidyah, maka dia tidak lagi menggantinya dengan puasa qadha.
Sehubungan dengan puasa Syawal 6 hari, bisa diringkas pendapat ulama mengenai hal itu. Imam Malik dan pengikutnya (mazhab Malikiyah) menolak puasa Syawal 6 hari sebagai puasa sunnat. Apalagi dikatakan bahwa yang melakukannya sama dengan berpuasa satu tahun. Alasannya, puasa Syawal 6 hari tidak terdapat dalam tradisi warga Madinah, termasuk ulamanya dan para salaf. Kalau Nabi saw. melakukannya, tentu akan diwarisi dan menjadi tradisi penduduk Madinah.
Adapun tiga pemuka mazhab lainnya, imam Hanafi, Syafii, dan Ahmad, menerima hadis tentang anjuran puasa Syawal 6 hari itu, diikuti oleh pengikutnya (mazhab Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambali). Mereka menyebut puasa Syawal 6 hari merupakan amalan sunnah muakkadah, artinya sunnah yang sangat dianjurkan. Imam Malik memakruhkan puasa Syawal 6 hari itu.
Adapun perempuan haid yang memilih puasa qadha, tapi sepaham dengan mazhab Malikiyah, hemat saya bagus mengganti puasa yang ia tinggalkan karena haid, pada bulan Syawal ketika saudara² yang berpaham berbeda menunaikan puasa Syawal 6 hari. Puasa rame² enak dan ringan. Kalau dia sepaham dengan mazhab puasa Syawal 6 hari sebagai sunnat muakkad, bolehlah dia menunaikannya dengan dua niat: puasa Syawal 6 hari sekaligus puasa qadha!