English English Indonesian Indonesian
oleh

Mewujudkan Keadilan bagi “Magang” Migran Indonesia di Jepang

(Revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan PMI)

Oleh: Muhammad Reza Rustam / Dosen Universitas Indonesia – Sekolah Kajian Stratejik dan Global  – Kajian Wilayah Jepang (KWJ)

Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), sedang melakukan revisi Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Namun apakah UU yang sedang di revisi tersebut mampu memberikan keadilan bagi PMI ?, yang saat ini sedang bekerja di Jepang dengan status visa “magang” dan mendapatkan perlindungan yang cukup, layak dan berkeadilan? 

Langkah kebijakan strategis yang diambil oleh Bapak Presiden Prabowo dengan menaikkan level Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menjadi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) merupakan langkah yang sangat patut mendapatkan apresiasi oleh masyarakat Indonesia. Khususnya apresiasi dari PMI yang juga sebagai penyumbang devisa terbesar kedua di Republik ini. Kebijakan yang diambil, sejalan dengan janji kampanye yang Presiden Prabowo sampaikan saat debat kandidat calon presiden tahun 2024 lalu. Dimana Presiden Prabowo menekankan pentingnya untuk memberikan perhatian khusus terkait pelindungan pekerja migran Indonesia. Langkah strategis dengan transformasi dari badan menjadi Kementerian ini pula, diharapkan mampu memperkuat dan memberikan pelindungan dan kesejahteraan bagi para pekerja migran, yang selama ini menghadapi berbagai tantangan di negara tujuan atau negara penempatan.

Namun, transformasi yang sedang dijalankan ini bukan hanya tanpa hambatan. Menteri KP2MI saat ini, Abdul Kadir Karding, tentunya menghadapi tantangan yang cukup besar dalam proses perbaikan tata kelola administrasi migrasi tenaga kerja migran kita, mulai dari persiapan sampai penempatan calon pekerja migran. Namun, di sisi lain, tarik ulur kewenangan hingga egosentris kelembagaan antara Kementerian Tenaga Kerja masih menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga.

Berkaca dari permasalahan PMI di Jepang, salah satu isu yang perlu mendapat perhatian ialah penggunaan kata “magang” bagi peserta pelatihan yang bekerja ke Jepang. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Pasal 4 Ayat 2 (b) berbunyi “Tidak termasuk sebagai Pekerja Migran Indonesia dalam UU ini, yaitu: (b) Pelajar dan peserta pelatihan di luar negeri” dalam pandangan UU tersebut, mereka yang berangkat bekerja ke Jepang dengan status visa magang, tidak mendapatkan perlindungan, karena dianggap sebagai “peserta pelatihan di luar negeri” yang berarti “magang”, sedangkan fakta di lapangan mereka adalah pekerja bukan “magang”.

Padahal, sejak 2016, status peserta magang di Jepang telah ditingkatkan menjadi pekerja dengan diterbitkannya UU khusus yang memberikan pelidungan bagi peserta “Magang” yang disebut Ginou Jisshusei Hou, dalam bahasa Inggris disebut Technical Intern Training Act

Technical Intern Training Act ini merupakan UU tentang Pelatihan dan Perlindungan Magang Teknis. UU ini di undangkan 28 November 2016 dan mulai berlaku 1 November 2017. Artinya, melalui UU ini, Jepang mulai mengakui peserta magang menjadi pekerja dengan dibuatnya UU khusus yang digunakan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja migran dengan status visa magang. Upaya perwujudan UU ini, dilakukan sejak 2010 oleh seorang pengacara dan juga aktivis migran bernama Shouichi Ibusuki di Jepang, dengan memperjuangkannya di pengadilan. Dengan berupaya memasukkan elemen peserta “Magang” ke dalam elemen pekerja, hingga diterbitkannya UU tersebut. Meski demikian, dalam praktiknya, di Indonesia peserta program magang ini masih dikategorikan sebagai peserta pelatihan, bukan pekerja migran dalam pemahaman UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Pasal 4 Ayat 2 (b). Hal ini menyebabkan mereka tidak mendapatkan pelindungan hukum yang layak sebagaimana pekerja formal lainnya, yang artinya apabila dalam revisi UU masih sama seperti sebelumnya, bisa saja dikatakan “Negara belum hadir” dalam nafas PMI di Jepang.

Menurut data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang (MHLW) Desember 2024, terdapat sekitar 93,545 peserta magang asal Indonesia di Jepang dan Visa Specified Skilled Worker (SSW) sebanyak 7,102 orang. Sayangnya, status hukum 93,545 pemegang visa “Magang” masih berada dalam wilayah abu-abu akibat UU di Indonesia belum mengakui mereka sebagai pekerja migran. Konsekuensinya, mereka rentan terhadap eksploitasi dan tidak mendapatkan hak-hak perlindungan tenaga kerja yang seharusnya mereka terima dari Negara. Harapannya, melalui revisi UU Nomor 18 Tahun 2017, peserta “Magang” mendapatkan pengakuan sebagai PMI.

Beberapa tahun ke depan di tahun 2027, pemerintah Jepang akan menghapus program pelatihan magang teknis dan menggantinya dengan skema baru bernama Ikusei Shuuro. Perubahan ini seharusnya menjadi momentum bagi KP2MI untuk memperjuangkan status yang lebih adil bagi tenaga kerja migran Indonesia di Jepang. Pemerintah Indonesia harus berperan aktif dalam memastikan bahwa perubahan regulasi di Jepang ini tidak merugikan pekerja migran Indonesia dan tetap memberikan perlindungan yang optimal bagi mereka, dan tentunya pengakuan resmi dalam UU atau aturan di Indonesia, pemegang visa Ikusei Shuuro adalah Pekerja.

Isu selanjutnya ialah dengan adanya revisi UU ini, diperlukan sebuah badan yang memiliki otoritas untuk memberikan perlindungan bagi PMI di luar negeri terkhusus di Jepang. Dengan dinaikkannya level kementerian dari badan sudah menjadi suatu keharusan diadakannya Atase Perlindungan PMI di Jepang, dengan mengikuti nomenklatur nama dari KP2MI yang mana jelas memiliki tugas dan fungsi memberikan pelindungan bagi PMI di negara-negara penempatan.  

Salah satu isu yang tak kalah penting lainnya ialah dengan menghapuskan jalur mandiri dalam penempatan PMI di Jepang, saat ini juga menurut data kementerian Imigrasi Jepang, permintaan pengajuan visa Nanmin (suaka) mengalami peningkatan. Penerimaan jalur mandiri ini, membuka ruang bagi agen-agen nakal untuk mempromosikan penempatan-penempatan ilegal bagi kandidat asal Indonesia. Dengan cara bujuk rayu upah tinggi dan bekerja dengan mudah ke Jepang. Selanjutnya, masuk dengan visa wisata. Setibanya di Jepang, yang awalnya dijanjikan dengan visa kerja namun ternyata tertipu dan di jebak untuk mengambil visa Nanmin (suaka). Selain itu, beberapa kasus jalur mandiri lainnya kandidat tertipu ketika berada di Jepang diakibatkan tidak mendapatkan penjelasan yang jelas dari pihak yang memberangkatkan. Ketika setelah diterima bekerja dilepas begitu saja. Seolah PMI yang diberangkatkan menjadi “anak ayam yang kehilangan induknya”

Dengan transformasi BP2MI menjadi KP2MI ini, sudah saatnya pemerintah Indonesia memperkuat diplomasi ketenagakerjaan dan memastikan bahwa revisi UU Nomor 18 Tahun 2017 mampu memberikan keadilan bagi seluruh pekerja migran Indonesia. Keberlanjutan dan efektivitas perlindungan tenaga kerja migran harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan ketenagakerjaan nasional.

News Feed