English English Indonesian Indonesian
oleh

Krisis Nilai Tukar Rupiah?

Krisis Asia tidak disertai oleh kondisi fundamental yang buruk, yaitu inflasi rendah, defisit anggaran kurang dari 3 persen GDP, dan neraca transaksi berjalan yang juga masih surplus. Krisis generasi ketiga sangat berbeda dengan krisis generasi pertama dan kedua.

Ekonom Dani Rodrik (2019) dari Harvard’s John F. Kennedy School of Government menyatakan bahwa krisis Asia disebabkan oleh hyper-globalisation investasi ke negara-negara Asia. Hal ini membuat harga saham di Indonesia meningkat 500 persen dan Malaysia 300 persen.

Pertanyaannya, apakah depresiasi nilai tukar yang terjadi tahun 2025 dapat mengarah ke krisis nilai tukar yang lebih buruk dari krisis nilai tukar generasi pertama hingga ketiga? Jawabnya, situasinya sangat berbeda.

Saat ini, Indonesia menganut regim nilia tukar mengambang bebas. Dimana risiko fluktuasi rupiah terhadap dollar AS dapat diantisipasi oleh pemerintah dan pelaku usaha (anticipated external shock).

Selain itu, kondisi pasar saham dalam negeri juga tidak lagi tergantung pada investor asing yang proprsinya semakin kecil, yaitu hanya 0,27 persen dan 99,73 persen adalah investor lokal. Hal ini berbeda dengan awal 2000-an, proporsi asing dalam pasar saham Indonesia mencapai sekitar 75 persen.

Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada akhir Juli 2021, investor asing yang tercatat hanya 16.316 pihak atau sekitar 0,63% dari total investor saham langsung di BEI, yang jumlahnya 2.589.880 pihak.

Sementara dari sisi nilai, total portofolio investor domestik juga lebih besar, yaitu 3.027 triliun rupiah atau sekitar 60,41% dari total portofolio di pasar saham. Bandingkan dengan total portofolio milik investor asing, yang hanya sekitar 1.984 triliun rupiah atau sekitar 39,59 persen dari total portofolio investor.

News Feed