English English Indonesian Indonesian
oleh

Di Balik Naskah La Galigo Jilid IV: Diterjemahkan Hati-hati agar Nilai Sastra Terjaga

Jilid ke-4 naskah terjemahan La Galigo telah hadir. Itu berkat upaya penerjemahan Prof Nurhayati Rahman, Basiah, dan Faisal Oddang.

Irmawati-Ilham Wasi
Tamalanrea

La Galigo, yang diakui sebagai Warisan Dunia Memory of the World UNESCO sejak 2011, adalah kisah epik dari naskah NBG Boeg 188 yang terdiri dari dua belas jilid. Saat ini, 4 jilid telah selesai diterjemahkan, dan sisa 8 jilid lagi.

Peluncuran terjemahan La Galigo jilid ke-4 oleh Prof. Nurhayati Rahman, Guru Besar Filologi Unhas, dilakukan bersamaan dengan dua buku lainnya: “Aku di Antara Santri dan Tradisi” yang mengisahkan perjalanan hidup Nurhayati Rahman, dan “Colliq Pujie Intelektual Penggerak Zaman,” sebuah biografi intelektual perempuan Bugis yang menyalin naskah La Galigo.

Prof Nurhayati, telah mendedikasikan puluhan tahun hidupnya untuk meneliti naskah La Galigo. Bersama timnya, dia melakukan alih aksara dan alih bahasa dari naskah lontara Bugis Kuno ke dalam aksara Latin dan Bahasa Indonesia.

“Salah satu misi saya adalah menyelesaikan alih aksara dan alih bahasa 12 jilid naskah La Galigo yang ada di Belanda. Namun, saya merasa sudah tidak muda lagi,” ujarnya dalam peluncuran buku yang bertema “Bertamasya Ke Masa Silam: Mengungkap Misteri Perempuan-Perempuan dalam La Galigo” di Gedung Sciences Techno Park, Unhas, Sabtu, 22 Februari.

Prof Nurhayati melakukan regenerasi dengan melibatkan Basiah dan Faisal Oddang. Basiah bertugas mengalihaksarakan La Galigo dari huruf Bugis Kuno ke aksara Latin, sementara Faisal Oddang menyastrakannya.

Kata dia, penerjemahan La Galigo tidak boleh dilakukan serampangan. Menurut para pakar di Belanda, penerjemahan yang tidak hati-hati dapat merusak nilai sastranya. “Kalau diterjemahkan serampangan nilai sastra Bugisnya akan dizalimi karena aslinya dalam bentuk sastra sementara terjemahannya tidak bersastra lagi,” jelas Guru Besar kelahiran Bone, 29 Desember 1957 ini.

Untuk menerjemahkan naskah tersebut, timnya harus ke Belanda. Hal ini diperkuat nota kesepahaman (MoU) dengan Universitas Leiden sejak 1987, di mana naskah La Galigo disimpan. Perjuangan Prof Nurhayati untuk naskah La Galigo tidak selalu berjalan mulus. Ia pernah didemo oleh mahasiswa yang menuntut pengembalian naskah yang mereka anggap dicuri.

Namun, Prof Nurhayati menjawab, “Bisakah kalian menjaga naskah tersebut seperti mereka yang benar-benar menjaganya?,” kata dia. Ia menambahkan bahwa siapa pun yang ingin membaca naskah tersebut harus menggunakan masker dan sarung tangan, serta diawasi ketat.

“Jika ada kesalahan dalam membuka naskah, kita akan langsung ditegur. Mungkin kita belum memiliki tenaga profesional dan dana untuk mengatur suhu tempat penyimpanan naskah-naskah tersebut,” jelasnya.

Meskipun sudah memiliki naskah digitalnya yang dapat diakses, namun, kerja filologi harus tetap dilakukan. Menurut Basiah, akademisi Fakultas Ilmu Budaya Unhas dan anggota tim penerjemah La Galigo mengatakan, tugasnya adalah mengalihaksarakan dari aksara lontara ke Latin sesuai dengan tuntutan kerja ilmiah filologis.

Naskah asli harus ditemukan secara langsung, tidak hanya melalui foto. “Maka dari itu, kita harus dekat dengan tempat di mana naskah asli itu disimpan, yaitu di Universitas Leiden,” bebernya.

Kata dia, fisik naskah harus diperiksa untuk menghasilkan karya ilmiah yang menjadi bahan penelitian dan referensi ilmiah. Bahasa La Galigo sangat sulit dan berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa La Galigo adalah bahasa sastra, dan penguasaan bahasa yang baik diperlukan untuk membacanya. (*/)

News Feed