English English Indonesian Indonesian
oleh

Mengapa Harus Menata Distribusi Penjualan Gas Melon?

Idrus Marham
Wakil Ketua Umum
DPP Partai GOLKAR 2024 – 2029

Apa yang terjadi dengan distribusi Gas Melon?

Hari ini orang lagi ramai menspekulasikannya. Rentetan fakta antrian gas dalam dua – tiga hari terakhir ini diangkat menjadi isu yang demikian rupa. Tentu saja, ketika melihat warga antri menenteng gas, kita semua prihatin dan tidak mengkehendaki rakyat jadi susah juga. Walaupun pada sisi lain, kita mengelus dada juga melihat “lidah tak bertulangnya” para “mufasir” politik, khususnya di dunia medsos, dengan tanpa pengetahuan yang cukup, ngalor ngidul beropini membahas fenomena Gas Melon ini.

Nakal mereka! Kenapa nakal?
Ya karena tafsirnya sama sekali tidak berpijak pada substansi yang ditafsirkan. Dalam konteks ini, sebutlah ketika membahas hal berkait dengan “antrian” gas Melon. Sungguh tidak kredibel bila membahas fenomena antrian pembelian gas, sembari mempertanyakan, “Ada Presiden de Jure dan de Facto kah bagi Bahlil? He…he…he spekulasi pikirannya kejauhan.

Menyampaikan analisa atau kritik atas kebijakan, tentu saja tidak mengapa, selama itu berbasis pada pakem berpikir yang rasional. Dalam Al Qur’an, surat Al Maidah ayat 8, Allah mengingatkan, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Jadi sebagai bangsa yang menjunjung etika kehidupan yang relijius, mari kita renungkan baik-baik firman Allah ini, sehingga kita terhindar dari kekhilafan saat mengajukan penilaian. Wajar menilai sesuatu secara kritis, tapi tetaplah pijak bumi. Pijak tempat berdiri. Jangan mengawang-awang. Lha kalau cuma khayalitasnya saja yang tinggi, itu pikiran kritis jenis apa? Tapi sudahlah saya tak hendak mengadili keterbatasan berpikir orang.
Mari kita masuk ke realitas antrian gas yang mengular.

Bahlil Lahadalia sebagai Menteri ESDM, bukan tidak melihat fenomena ini. Beliau bahkan merasa sangat prihatin. Sebagai pemimpin ia paham, bagaimana secara empatif menempatkan diri pada posisi perasaan masyarakat. Terlihat tatkala tanpa sungkan, beliau turun langsung ke lapangan dan menyatakan bertanggung jawab.

Dengan gentlemen dan jiwa besarnya, Bahlil mengapresiasi kritik mayarakat yang sedang meletup-letup. Ia tidak melengos dan melempar tanggung jawab, tapi datang meminta maaf, mengakui ada kekurangan ke tengah mereka yang mengantri, bahkan dengan segala kerendahan hati, mengaku salah, sekaligus mendengar emosi warga dengan bijak. Ini pertanda hasrat kepeduliannnya yang tinggi pada masyarakat. ⁠Tanpa merasa berkuasa dan mau dilayani, Bahlil turun ke masyarakat dan melayani.

Sebagai sosok pemimpin yang tumbuh dari bawah, aktifis yang lahir semenjak masih mahasiswa, Bahlil memperlihatkan karakter yang matang dalam memposisikan kritik sebagai proses yang membentuk dirinya hingga saat ini. Terlihat dari bagaimana lapang dan terbukanya saat ia menerima masukan dan kritikan. Tapi tentu saja, kritikan yang Logik, Faktual, obyektif, Konstruktif dan solutif.

Lalu — kembali ke substansi masalah – kita telusuri, mengapa ada urgensi untuk membuat kebijakan baru berkait dengan penjualan gas bersubsidi ini? Sudah menjadi rahasia umum bahwa, urusan distribusi gas Melon, dengan segala kompleksitas dan eksesnya, banyak dikeluhkan masyarakat luas.
Masyarakat yang mengeluh! Maka point pentingnya adalah bagaimana menghadapi keluhan masyarakat? Apakah keluhan masyarakat dengan segala kompleksitas persoalannnya ini harus ditampung, dicarikan solusinya demi perbaikan atau diteledorkan saja sembari asyik masyuk mempermasalahkan masalah?

Secara faktual, bagaimana pun tidak populernya, Bahlil merespon masalah Melon ini, dengan menunjukkan Sikap dan pendekatan yang BENAR dan PENAR — meminjam konsep budaya Jawa. Ia tegar menghadapi Masalah, tidak menghindar, apalagi lepas tanggung jawab, tidak menyalahkan stafnya… Humble ⁠menghadapi masyarakat secara bijak, tidak marah-marah, apalagi arogan merasa benar sendiri.

Menata ulang sebuah proses yang selama ini sudah mapan berjalan, tentu akan mengundang beberapa konsekwensi. Di antaranya bahkan mengundang ‘kontraksi” sosial. Baik itu Kontraksi yang berkait dengan rutinitas warga sebagai pengguna elpiji, maupun juga sekaligus, kontraksi dengan mereka-mereka yang selama ini menangguk untung dari kenakalannya memainkan Gas bersubsidi ini.

Ini yang sesungguhnya perlu menjadi pengertian dan perhatian semua pihak. Karena menata butuh berbagai upaya untuk merekonstruksikan kembali atas apa yang selama ini dibiarkan berjalan, agar untuk kemudian bisa menjadi lebih baik lagi.
Berangkat dari perspektif ini, maka cara berpikirnya harus dimulai dari basis pertanyaan awal tadi. Mengapa dan apa yang harus ditata? Apakah selama ini tidak ada keluhan yang berkait dengan dunia per gas melanonan?

Setidaknya ada beberapa sebab yang membuat penjualan gas melon mendesak untuk ditata ulang.
Pertama, karena penjualan gas melon bersubsidi selama ini masih banyak yang belum tepat sasaran, alias belum focus pada penerima manfaat penjualan gas melon bersubsidi. Di sini pemerintah harus tegas!

Harus jelas, siapa sesungguhnya yang berhak menerima Gas petroleum cair (Liquefied Petroleum Gas/LPG) atau elpiji bersubsidi ukuran 3 kilogram ini? Mengapa begitu, karena gas Melon ini penjualannya disubsidi, maka penggunaannya diatur oleh regulasi pemerintah. Penjualannya hanya boleh dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Aturan ini dimaksudkan agar subsidi energi dapat tersalurkan dengan lebih tepat sasaran, terpantau dengan baik, dan harga jualnya sesuai dengan yang ditentukan pemerintah.

Siapa saja masyarakat yang boleh membeli elpiji subsidi 3 kg tersebut? Ada empat kalangan; rumah tangga, usaha mikro, petani sasaran, dan nelayan sasaran. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009 Tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas.

Sejauh pemantauan pemerintah, penjualan Elpiji bersubsidi ini ditemui masih banyak yang tidak tepat sasaran. Apakah ini harus dibiarkan? Ini salah satu alasan, mengapa Kementerian ESDM menginstruksikan masyarakat agar membeli gas ini di pangkalan resmi Pertamina mulai 1 Februari 2025. Jika sekarang “pangkalan pertamina “ masih berjarak dengan masyarakat, itu disadari oleh Pemerintah. Dan tentu untuk selanjutnya, jumlah pangkalan Resmi pertamina akan ditambah jumlahnya. Akan ada sub-sub pangkalan yang akan memudahkan pembelian. Pedagang-pedagang eceran itu, bisa menjadi sub pangkalan pertamina.

Kedua, ini berkenaan dengan keluhan masyarakat yang bukan satu dua datangnya. Berkait dengan harga penjualan Gas Melon, hilangnya gas Melon dari pasar, sekaligus adanya “penimbunan” gas melon .

Selama ini harga jual gas Melon, jelas-jelas bersubsidi, tapi ketika sampai ke pemanfaat, harganya banyak yang jadi melambung. Itu artinya ada rantai permainan yang berlangsung dalam distribusi gas Elpiji ini. Apalagi, kenaikan harga ini biasanya berbarengan dengan langkanya gas di pasaran.

Harus diakui, ini semua bisa terjadi karena ada permainan. Ada mafianya. Ada yang mengail di air keruh, untuk mendapatkan keuntungan. Nah, kaum yang seperti ini pasti merespon segala langka perbaikan dengan membangun “kontraksi” sosial, untuk membangun kesan, berbuat berjuang untuk rakyat, seakan-akan, serba seolah olah, itulah cara yang marak saat ini. Kaum ini tidak sungkan “berjuang, berbuat jujur di balik ke tidak jujuran”.

Apakah fenomena ini mau dibiarkan?? Jangan! Kasihan dong warga masyarakat! Pemerintah mensubsidi supaya warga memperoleh harga yang ringan, tapi para spekulan – bahkan mafia — bermain seenaknya membebani harga ke masyarakat. Apakah kejanggalan-kejanggalan ini tidak perlu ditata?

Ketiga, juga berhubungan dengan keluhan masyarakat yang bukan satu dua juga. Berkait dengan pengaduan masyarakat akan adanya praktik kecurangan. Volume yang mestinya berisi gas 3 kg, ternyata berisi jauh di bawah itu. Bahkan hasil pengecekan pemerintah ada yang hanya berisi 2.300 gram saja. Ini kan bukan main!

Belum lagi yang melakukan praktek-praktek pengoplosan. Berkali-kali polisi menggerebek praktek pengoplosan gas. Ini juga harus dijadikan pertimbangan dan kemawasan, akan adanya rantai distribusi yang mesti dibenahi. Dan sekali lagi, yang melaporkan terjadinya pengoplosan-pengoplosan ini ya warga masyarakat sendiri. Pada sisi ini, kepekaan masyarakat dan kegercepan polisi dalam bertindak perlu mendapat apresiasi. Sebab kalau dimasabodoin, jelas kejahatan-kejahatan yang terjadi di seputar per-gas melonan ini, bukan cuma merugikan tapi lebih dari itu, membahayakan masyarakat.

Coba bayangkan betapa ruginya masyarakat? Pemerintah mensubsidi untuk meringankan masyarakat, mafia mencuri untuk menyengsarakan rakyat. Lalu apakah peristiwa-peristiwa seperti harus dibiarkan atau ditata? Boleh dijawab secara rasional, boleh secara nuaraniah!

Berangkat dari berbagai pertimbangan inilah, demi kebaikan jangka panjang, kebaikan masyarakat, pemerintah melakukan penataan berkait dengan penjualan dan distribusi gas Melon. Sederhana sebenarnya. Semua terpulang kepada nurani kita semua, karena hanya Allah SWT yang memahami apa yang tersembunyi, termasuk isi hati kita. Nahnu Nahkumu Bi aldhawahir Wa Allahu yatawalla al-sarair. (*)

News Feed