Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf
(Dosen FEB Unhas)
HARIAN.FAJAR.CO.ID, MAKASSAR – Isu utama perekonomian global dalam beberapa waktu terakhir terpusat ancaman pengenaan tarif 100 persen oleh Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS) terhadap upaya dedolarisasi yang dimotori negara yang tergabung dalam BRICS plus, yaitu Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, dan lainnya.
Dedolarisasi berkaitan dengan menurunnya ketergantungan terhadap penggunaan dolar AS dalam transaksi perdagangan dan keuangan internasional serta cadangan devisa global. Dedolarisasi akan mengurangi peran dolar AS dalam perekonomian global.
Proses dedolarisasi semakin menguat sejak pemerintah AS menggunakan instrumen transaksi dolar sebagai senjata menekan negara lain. Hal ini dialami oleh Rusia yang menyerang Ukraina sebagai sekutu AS dengan membekukan asset Rusia dalam dolar AS. Termasuk menghentikan transaksi dolar AS oleh Rusia dan memblokir cadangan devisa Rusia dalam dolar AS.
Pemerintah AS juga memberikan sanksi terhadap Rusia dengan mengeluarkannya dari keanggotaan SWIFT (Society Worldwide for Interbank Financial Telecomunication). SWIFT adalah sarana komunikasi transaksi internasional antar bank.
Dominasi dolar AS dalam perekonomian global dimulai pada akhir perang dunia kedua. Pada saat beberapa negara bersepakat untuk menggunakan dolar AS sebagai cadangan devisa (foreign exchange reserve), alat transaksi keuangan dan perdagangan global.
Sebagai contoh, hingga tahun 2023, pinjaman luar negeri dalam dolar AS mencapai 50 persen dari total utang luar negeri global. Demikian juga dengan surat utang internasional berdenominasi dolar AS sekitar 48 persen dari total international debt securities.