Aidir Amin Daud
Awal tahun ini kita sama ketahui dan sudah dibahas habis oleh para pakar — Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus presidential threshold atau ambang batas minimal pencalonan presiden yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Penghapusan tersebut merujuk amar Putusan MK No 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan hakim di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Ini kejutan baru dari MK setelah sebelumnya — sekitar 30 gugatan terkait ini telah dikandaskan oleh MK. Presidential threshold adalah ambang batas minimal yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai untuk mencalonkan kandidat presiden dan wakil presiden. Dalam aturan lama, partai atau koalisi harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana Pilpres ke depan. Pasti akan banyak calon yang maju. Sudah punya gagasan baru dan tentu harapan untuk terpilih memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Ruang gerak demokrasi tentu akan lebih leluasa. Seperti kalimat pertimbangan MK bahwa ambang batas yang ada selama ini (20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional) telah membatasi ruang gerak demokrasi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pertimbangan kedua, pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas tak cukup efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
Ketiga, mendominasinya partai politik tertentu selama ini akan berdampak pada terbatasnya hak konstitusional partai politik lain untuk mengusulkan pasangan calon. Keempat, penyelenggaraan pemilihan presiden yang berjalan cenderung hanya pasangan calon terbatas sehingga menyebabkan polarisasi yang bisa makin tajam dan melemahkan kesatuan bangsa ini.
Namun, mungkin aturan dan hukum baru yang lahir akibat keputusan MK — akan melahirkan suasana demokrasi yang baru. Apalagi jika pada akhirnya nanti mayoritas partai akan berada di koridor perlawanannya masing-masing. Tidak berkerubung menjadi pendukung satu pasangan Presiden-Wapres — sesuatu yang terasa melemahkan demokrasi itu sendiri. Negeri ini mungkin perlu demokrasi baru yang mengawasi jalannya pemerintahan.
Banyak pandangan yang menyatakan bahwa sistem presidensialisme jika dikombinasikan dengan sistem multipartai dianggap sebagai kombinasi yang sulit. Kombinasi tersebut ditengarai akan semakin mengarahkan dua kekuasaan, antara eksekutif dan legislatif. Mungkin bisa menghadirkan demokrasi baru yang lebih baik. Namun bisa juga menghadirkan sebuah demokrasi yang bisa deadlock di banyak kesempatan dan pengambilan keputusan penting.
Ada gugatan di MK terkait parliamentary-threshold; yang bisa menghadirkan begitu banyak partai di parlemen. Sesuatu yang tidak gampang untuk diakomodasi kepentingannya oleh kekuasaan eksekutif. Sesuatu yang juga bisa akan menggerogoti kekuasaan eksekutif dan membuatnya menjadi lemah. Sesuatu yang selalu dikuatirkan akan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Kita sama mencatat bahwa dalam banyak kajian selalu dinyatakan bahwa presidensialisme dan sistem multipartai selalu dapat dijalankan. Selalu disebutkan apa yang terjadi di Indonesia bahkan Korea Selatan. Meskipun kita sama membaca beberapa pekan lalu adanya Impeachment atas Presiden Korea Selatan. Bahkan ia ditangkap dengan tuduhan menyalahgunakan kekuasaannya.
**
Apapun ke depannya — meski masih empat tahun lebih — Pileg dan Pilpres 2029 nanti akan menghadirkan para legislator nasional dan Presiden yang baik. Apapun jika semuanya bermuara kepada kepentingan rakyat banyak — maka apapun kesesuaian pendapat atau perbedaan pendapatnya — pasti akan bermanfaat bagi orang banyak. Kita memerlukan suasana demokrasi yang baru dan lebih baik. Kita meyakini sistem presidensial dan sistem multipartai dapat berjalan dengan dukungan dua aspek yang saling pengaruh, yaitu aspek kekuasaan konstitusional presiden atas legislasi dan aspek kedisiplinan partai.
**
Apapun yang diputuskan MK, adalah gambaran kepada kita bahwa hukum terus berkembang. Semuanya bertujuan baik apalagi jika terkait demokrasi, maka putusan MK tentu agar kita memiliki demokrasi baru. Demokrasi yang lebih baik untuk rakyat. Sebuah bukti bahwa, “Dormiunt Aliquando Leges, Nunquam Moriuntur.” ***