Oleh Aswar Hasan / Dosen Fisip Unhas
Ada 3 (tiga) sosok jurnalis senior asal Sulawesi-Selatan yang sangat berkesan bagi penulis selama hidup beliau.
Pertama adalah Arsal Al Habsyi yang terkenal dengan istilahnya; “Wartawan Koboy”. Kemudian Rahman Arge yang sekitar 350 kumpulan tulisannya telah dibukukan berjudul; “Permainan Kekuasaan’’ dan dikenal dengan prinsip; “Menggelinding Tanpa Banyak Cingcong”. Dan, yang terakhir yang menjadi pembahasan kita, adalah Alwi Hamu. Ketiga tokoh tersebut, telah dipanggil menghadap Ilahi Rabbi. Semoga almarhum mendapatkan surgaNya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Suatu hari, penulis mendapat wejangan spesial dari almarhum Bapak Alwi Hamu. Wejangan itu, berdasarkan pengalaman dan pengamatan beliau selaku jurnalis senior yang telah banyak makan asam garamnya dunia jurnalistik. Kata beliau, di era modern ini yang tantangannya semakin kompleks para jurnalis harus berubah dari cara pandang; “The bad news is good news menjadi good news is the best news”. Definisi berita yang banyak dianut para wartawan yang menganggap dan berasumsi bahwa berita itu adalah kabar buruk sebagai kabar baik untuk diberitakan harus diubah menjadi kabar baik adalah kabar terbaik untuk diberitakan. Beliau sadar dengan sengaja mengatakan itu kepada saya, karena tahu, bahwa profesi saya adalah dosen yang pekerjaannya adalah mengajar dan mendidik calon wartawan. Seolah berpesan bahwa didiklah mahasiswamu menjadi wartawan yang baik.
Bahwa pergeseran paradigma dari “The Bad News is Good News” ke “Good News is the Best News” mencerminkan perubahan perspektif dalam cara kita memandang informasi dan kehidupan. Konsep ini mengilustrasikan bagaimana manusia dapat bergerak dari fokus pada tantangan dan kesulitan sebagai peluang, menuju penekanan pada optimisme dan kekuatan dari hal-hal positif.
Ungkapan tersebut, sering digunakan untuk menyoroti bahwa berita buruk, meski tampak negatif, dapat membawa pelajaran atau peluang. Dalam konteks ini, sebuah berita buruk dapat memicu aksi yang serupa. Padahal, saat menghadapi masalah, kita seharusnya dimotivasi untuk mencari solusi terbaik dengan berita terbaik.
Pembelajaran mendalam yang dapat diperoleh bahwa tantangan memberikan kita pengalaman dan wawasan yang tidak akan kita dapatkan dari kenyamanan. Namun, fokus pada “berita buruk” terkadang dapat memunculkan pandangan dunia yang pesimis, di mana kita selalu menunggu kesulitan untuk mendorong perubahan.
Bahwa paradigma good news is the best news adalah pendekatan yang lebih positif, berpusat pada kekuatan kabar baik sebagai pendorong semangat dan inspirasi. Dalam pendekatan ini, optimisme akibat berita baik lebih akan menginspirasi. Berita baik menciptakan harapan dan kepercayaan diri, sehingga mendorong orang untuk bertindak dengan lebih antusias.
Sebuah berita terbaik akan berakibat efek domino yang lebih positif. Sebuah kabar baik dapat menyebarkan energi positif dan mendorong perubahan tanpa harus dimulai dari masalah. Objek pemberitaan akan lebih fokus pada keberhasilan dan menyoroti pencapaiannya untuk lebih membantu menghargai kemajuan yang telah dicapai, alih-alih terus mencari kekurangan.
Bergerak dari The Bad News is Good News ke Good News is the Best News adalah perjalanan menuju pola pikir yang lebih sehat dan membangun. Itu bukan berarti mengabaikan tantangan, tetapi lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada solusi dan inspirasi yang dapat kita temukan dalam hal-hal positif. Dengan demikian, kita menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi pertumbuhan individu dan masyarakat.
Untuk mengubah paradigma dari “The Bad News is Good News” ke “Good News is the Best News” diperlukan upaya secara sadar untuk mengubah cara berpikir, berkomunikasi, dan bertindak. Untuk itu, diperlukan beberapa langkah-langkah. Diantaranya adalah:
Pertama, mengubah pola pikir para jurnalis. Melatih mereka untuk terbiasa melihat dan menyoroti kabar baik dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, daripada hanya menyoroti masalah, cari kisah sukses yang menginspirasinya. Tetap mengakui sebagai tantangan, tetapi tekankan bahwa solusi ada dan perubahan positif mungkin terjadi. Belajar menghargai kemenangan kecil dan sebuah pencapaian, yang seringkali terabaikan di tengah berita buruk.
Kedua, menggiatkan pendidikan dan literasi media. Ajarkan untuk lebih kritis memilih sumber informasi, agar tidak terjebak dalam siklus berita negatif. Dorong media, institusi, atau organisasi untuk memberikan porsi lebih besar pada berita-berita yang membangun.
Ketiga, jalin komunikasi yang lebih positif. Pemimpin, baik di tingkat pemerintahan, komunitas, atau keluarga, perlu menyampaikan narasi yang menonjolkan hal-hal baik dan potensial untuk masa depan. Alih-alih hanya melaporkan masalah, komunikasikan solusi yang sedang diupayakan atau hasil positif dari upaya sebelumnya.
Keempat, melakukan transformasi media dan teknologi untuk platform berita yang lebih positif. Bangun atau dorong media yang berfokus pada berita baik, kisah inspiratif, dan inovasi dengan menyebarkan cerita tentang kebaikan dan pencapaian, bukan hanya kritik atau sensasi.
Kelima, perlu adanya kebijakan pemerintah ataupun korporasi. Pemerintah atau perusahaan dapat memberikan penghargaan bagi inisiator yang menciptakan perubahan positif melalui berita positif.
Melalui paradigma tersebut dibutuhkan kolaborasi antara individu, komunitas, media, dan institusi.
Bahwa dengan pembiasaan mencari, menyebarkan, dan merayakan kabar baik, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih positif dan mendukung pertumbuhan berdasarkan kepentingan bersama. Wallahu a’lam bisawwabe (*).