Penulis Imam Dzulkifli
HARIAN.FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Entah di bulan berapa, tetapi itu tahun 2016. Saya sudah bersiap pulang dari kantor ketika dipanggil seorang staf. “Pak Alwi mau bertemu di ruangannya, lantai 15.”
Saya mendengarnya dengan jelas, tetapi sejenak termenung. Pak Alwi! Dipanggil Pak Alwi!. Sejak bekerja di Harian FAJAR, 2007, saya hanya bisa bertemu beliau di lift. Atau melihatnya dari jarak agak jauh ketika berpidato pada acara ulang tahun perusahaan.
Beliau mengenali wajah saya, tetapi tidak tahu nama. Pak Alwi Hamu, HM Alwi Hamu lengkapnya, adalah pendiri dan pemilik FAJAR, saya hanya satu dari ratusan wartawan yang beliau gaji setiap bulan.
“Saya baca tulisanmu untuk ulang tahunku di Facebook.” Begitu kata Pak Alwi ketika saya sudah menemuinya di lantai 15 itu. “Dua tahun lagi saya akan berusia 75 tahun. Saya mau kamu yang tulis bukunya.” ujar Imam meniru ucapan HM Alwi Hamu.
Saya terkejut luar biasa. Sayangnya, sampai usia 75 itu, buku tak kunjung dibuat. Beliau terlalu sibuk mengurusi puluhan perusahaan dan saya yang terlalu lemah di fisik waktu itu. Sedikit-sedikit demam. Hingga akhirnya saya meninggalkan FAJAR pada 2020. Saya hanya bisa melihat wajah Pak Alwi di koran dan status teman-teman.
Dua tahun kemudian, Pak Alwi kena stroke. Demi Allah, saya salah satu yang ikut mendoakan kesembuhan beliau. Mungkin 3 tahun beliau berkutat dengan dokter. Berjuang untuk pulih. Karena, entah ada yang mau menyangkal atau tidak, FAJAR adalah Alwi, Alwi adalah FAJAR.
Tanpa Pak Alwi, FAJAR seperti kehilangan pohon pelindung. Siang yang kehilangan matahari. Kami semua yang pernah di FAJAR tahu betapa kerasnya perjuangan lelaki yang selalu tampil klimis dengan rambut belah samping itu, mendirikan surat kabar ini, sampai menjual banyak barang, termasuk vespa kesayangannya.