Oleh: Mahrus Andis
Dahulu, pada zaman penjajahan Belanda (1930-an), nama “Jongayya” dikenal sebagai sebuah kampung yang menakutkan. Setiap kali menyebut kampung itu, selalu diikuti diksi peringatan di belakangnya “Hati-hati, jai to kandalaq“.
Saat itu, kampung Jongayya banyak dihuni orang berpenyakit kulit yang disebut kusta (mycobacterium leprae). Menurut cerita, pada saat itu Pemerintah Kolonial bersama Raja Gowa menghibahkan tanah untuk mengucilkan (baca: mengarantina) para penderita kusta di wilayah Jongayya agar wabah penyakit itu tidak menyebar luas.
Itu dari sisi “hitam” sejarah Kampung Jongaya. Namun di lembaran kisah yang lain, di awal kerajaan, Kampung Jongayya adalah kawasan hutan yang dijadikan tempat para raja beserta keluarganya berlatih memburu rusa. Kemahiran berburu rusa (bahasa Bugis dan Makassar: jonga) di zaman kerajaan Gowa, Bone dan Luwu adalah kebanggaan utama yang harus dimiliki para raja dan pewaris tahta kerajaan.
Menurut cerita Syeikh Sayyid A. Rahim Assagaf Puang Makka, tokoh agama dan salah seorang narasumber dalam dialog budaya itu, kawasan Jongaya merupakan tempat berkeliarannya rusa-rusa milik raja. Karena itu maka pihak kerajaan memagari wilayah tersebut dengan kawat. Hingga saat ini, di Kelurahan Jongayya masih ada nama Kampung Kawaq.
Pernik-pernik sejarah tentang Jongayya di masa silam terurai dalam forum dialog budaya tersebut. Meskipun baru dialog awal untuk setahun ke depan, forum ini cukup menarik. Beberapa budayawan turut terlibat, antara lain: Prof. Andi Halilintar Latief, Andi Amrullah Syam, Ahmadi Haruna, Daèng Serang dan lainnya. Hadir pula Tokoh Masyarakat selaku Pembicara mendampingi Puang Makka yaitu: Djoko Surojo dan Syamsul Bachri Daèng Anchu.