Hal menarik adalah tingginya pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan yang didorong oleh peningkatan jumlah pengiriman barang, khususnya barang-barang e-Commerce yang diproyeksi akan tumbuh semakin tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Lalu pertanyaannya, langkah apa yang dapat dilakukan oleh pemerintahan Prabowo untuk mengejar target pertumbuhan 8,0% pada tahun 2027 meskipun lembaga-lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,0% – 5,3% hingga tahun 2026?
Menjawab pertanyaan di atas, kita mulai dari mengamati Gross Domestic Product (GDP) secara sektoral, dimana penggerak utama perekonomian nasional adalah sektor manufaktur namun dengan kontribusi yang semakin menurun, yaitu dari 21,08% tahun 2014 menjadi sekitar 18,67% terhadap GDP pada tahun 2023.
Secara lebih detail, pertumbuhan industri manufaktur sendiri sangat bergantung pada industri makanan dan minuman yang berbasis sektor pertanian. Hal ini sangat tidak memadai untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 8,0% tahun 2027 – 2029.
Tidak ada pilihan lain, strategi industrialisasi nasional harus berani masuk ke industri berteknologi tinggi dengan konten R&D serta inovasi yang sangat tinggi, seperti industri otomotif, elektronik, semikonduktor, galangan kapal, pesawat terbang, dan lainnya.
Kontribusi kelompok industri di atas dalam perekonomian Indonesia masih sangat kecil. Padahal, merujuk pada pengalaman Korea dan Jepang dalam transisi menuju pertumbuhan tinggi untuk menjadi negara maju bertumpu pada industri berorientasi ekspor yang bersifat capital intensive dengan konten R&D serta inovasi yang sangat tinggi.