English English Indonesian Indonesian
oleh

Duka di Perguruan Tinggi

SuarA: Nurul Ilmi Idrus

Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas, dan merupakan tahap akhir opsional pada pendidikan formal. 

Dulu, dulu banget, ketika orang menyebut perguruan tinggi seperti halnya ketika orang menyebut professor, kesannya sangat high level, berwibawa, dan disegani. As time goes by, kesan itu berubah, kewibawaan perguruan tinggi tergerus oleh berbagai peristiwa memalukan yang dilakukan oknum-oknum perguruan tinggi, baik oleh dosen, tenaga kependidikan (tendik), maupun mahasiswa. Kewibawaan perguruan tinggi tercoreng dan pada banyak peristiwa, follow up dari berbagai peristiwa selalu terlambat,  “menunggu” setelah peristiwa meledak. Ini ibarat pemadam kebakaran yang datang setelah api membesar.

Di Makassar saja, peristiwa-peristiwa memalukan terjadi di perguruan tinggi besar di Indonesia Timur. Pada pertengahan tahun 2023, UNM dihebohkan oleh peristiwa ditemukannya brankas berisi narkoba dengan jumlah yang cukup banyak yang tersangkanya adalah mantan mahasiswa UNM yang telah drop out (DO). Hebatnya, meskipun mereka  yang telah DO, mereka masih bebas berkeliaran, bermarkas, dan beroperasi di UNM. Mereka merupakan jaringan pemasok ke rutan dan lapas di dua kabupaten yang berbeda di Sulawesi Selatan.

Pada  tahun 2014, peristiwa memalukan lainnya terjadi di Unhas berkaitan dengan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen terhadap mahasiswanya, dan ini bukan peristiwa satu-satunya dan pertama kali terjadi di perguruan tinggi terbesar di Indonesia Timur ini. Apa yang kelihatan hanyalah segelintir peristiwa, bagai fenomena gunung es yang muncul hanya ujungnya, bagian bawahnya “terbungkam.” Ini bukan karena peristiwa-peristiwa sebelumnya tidak terekspos saat belum ada Permendikbudristek No.30/2021 tentang Pencegahan, Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi karena setelah adanya peraturan tersebut, kejadian-kejadian serupa masih saja terjadi. Peraturan terkait menjadi kambing hitam. Bagi korban, diam adalah solusi sekaligus masalah. Diam menjadi solusi karena dengan diam, maka hubungan antara dosen dan mahasiswa (dimana ada relasi kuasa di dalamnya) tetap berjalan dengan relatif baik. Diam menjadi masalah karena peristiwa pelecehan terpendam dan menimbulkan trauma bagi korbannya. 

Peristiwa lainnya yang mencoreng nama baik perguruan tinggi terjadi di UIN, kampus berlabel Islam ketahuan menjadi kampus pencetak uang palsu, yang melibatkan oknum civitas akademika UIN dan konon telah berlangsung + 15 tahun. Banyak yang menyesalkan karena pelaku utamanya adalah seorang dosen yang menjabat sebagai kepala perpustakaan. Jika di luar negri perpustakaan adalah tempat yang selalu ramai (rush) oleh orang-orang yang membutuhkannya, maka di Indonesia, kebanyakan perpustakaan sunyi-sepi, sehingga jika ada kegiatan ilegal di dalamnya, itu sangat memungkinkan terjadi.

Tidak mengherankan jika muncul gelar-gelar terhadap perguruan tinggi-perguruan tinggi tempat peristiwa atau tempat bagi pelaku dan korban bekerja. UNM digelari sebagai “kampus narkoba,” Unhas mendapatkan gelar “kampus pelecehan seksual,” dan UIN beroleh gelar “kampus uang palsu.” 

Namun, ini hanya segelintir peristiwa yang muncul ke permukaan, ada banyak peristiwa yang merusak nama baik perguruan tinggi, termasuk obral pemberian gelar atau jabatan fungsional kepada politisi, pemilihan rektor yang bagai pemilihan kepala daerah, proses menjadi profesor yang tidak benar, dll. Perguruan tinggi semakin kehilangan kewibawaannya karena perguruan tinggi yang harusnya menjadi mata air kehidupan dan benteng moral, kini sedang berduka dan bermuram durja. (*)

News Feed