FAJAR, MAKASSAR-Budaya lokal saat ini menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan di tengah derasnya arus perubahan kebudayaan global. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran, terutama jika pemerintah gagal memahami dan melindungi kekayaan budaya tersebut.
Begitu pula dengan keberadaan Bissu di Sulawesi Selatan. Di Bone, jumlah bissu kini kurang dari 15 orang. Sementara itu, di daerah lain seperti Soppeng, Wajo, dan Pangkep, jumlah mereka bahkan lebih sedikit, sering kali tidak mencapai 15 orang di satu wilayah.
Dua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan, Moh Ramdhan Pomanto-Azhar Arsyad dan Andi Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi telah mengikuti debat publik perdana dengan tema “Peningkatan Kesejahteraan dan Pelayanan Publik yang Aksesibel dan Responsif” di Hotel Four Points, Makassar, pada Senin, 28 Oktober 2024. Debat kedua mengangkat tema “Ekonomi, Infrastruktur, dan Tata Kelola Sumber Daya Alam” yang berlangsung pada Minggu, 10 November 2024, di Hotel Claro, Makassar.
Dalam kedua debat tersebut, isu kebudayaan tidak dibahas secara mendalam dan hanya disinggung sedikit, terutama terkait dengan Bissu. Hanya digunakan sebagai penarik elektoral. Pada debat pertama, Danny menyebutkan kata “Bissu” dalam pernyataan penutupnya.
“Terima kasih kepada segenap perawat kebudayaan di Ammatoa di Tanah Kajang, para Bissu di Pangkep dan Bone, para tetua Tana Karampuang, para uwa di Tolotang, para pemangku negeri, bottinglangi di Toraja, dan seluruh pihak yang telah merawat kearifan Sulawesi Selatan,” jelas Danny, sapaan akrab Moh Ramdhan Pomanto.
“Saya dan Pak Azhar menghaturkan terima kasih dan ingin menyampaikan bahwa kebudayaan adalah identitas yang harus dirawat dengan kesungguhan hati, karena Sulawesi Selatan tidak akan ada tanpa kearifan-kearifan mereka,” tambahnya.
Sementara itu, Fatmawati Rusdi yang menyampaikan pernyataan penutup dari pasangan calon nomor urut 2 hanya menyinggung bahwa pembangunan Sulawesi Selatan yang berkelanjutan memerlukan figur pemimpin yang bekerja dengan tulus hati.
“Karena kerja nyata lebih baik daripada sekadar janji-janji. Kita semua sepakat bahwa Sulawesi Selatan membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan akses kesehatan yang memadai, dan keberlanjutan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Pada debat kedua, isu kebudayaan juga tidak dibahas secara mendalam. Topik yang dibicarakan hanya berkaitan dengan sektor pariwisata dan kaitannya dengan kegiatan budaya. Danny kembali menonjolkan F8 yang dia buat di Makassar, serta menyebutkan bahwa sanggar-sanggar mengalami kesulitan karena tidak dapat menampung banyaknya budaya yang tidak berkembang. Menurutnya, ini bukan soal dana, tetapi soal kebijakan.
“Kami, Insya Allah, karena budaya adalah bagian dari sejarah kita—sejarah Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Itu adalah sejarah dunia yang tidak boleh kita hapus atau perkecil. Dengan menjaga dan mengembangkan budaya kita, kita akan meraih kebesaran seperti pada masa lalu. Insya Allah, dengan slogan pariwisata hijau, kita akan memajukan keunggulan budaya kita sebagai daya saing Sulsel,” paparnya.
Sementara itu, Sudirman lebih menekankan sektor infrastruktur. “Saya ingin menyampaikan mengenai pariwisata. Kami tidak hanya berbicara, tetapi kami juga telah mengalokasikan dana sebesar 8 miliar bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menjadikan Ramang-Ramang sebagai bagian dari UNESCO. Kami juga telah bekerja sama dengan Pemkab Maros untuk mendukung pembangunan tersebut,” ujarnya.
Sudirman juga menyebutkan bahwa saat menjabat sebagai Gubernur Sulsel, dia telah menggelontorkan dana sebesar 255 miliar untuk membuka akses ke daerah Seko. “Saat ini, masih ada sekitar 24 km yang perlu diperbaiki,” tambahnya.
Lebih lanjut, dia menambahkan, membangun sistem transportasi dengan fokus pada peningkatan akses. Salah satunya adalah subsidi penerbangan ke Toraja. Saat ini, penerbangan tersebut sudah berjalan mandiri, seperti penerbangan dari Toraja ke Balikpapan.
“Kami menganggarkan subsidi untuk dua tahun, dan sekarang penerbangan tersebut sudah tidak lagi membutuhkan subsidi. Kami menyubsidi semua penerbangan untuk mendukung aksesibilitas, karena dalam pengembangan pariwisata ada tiga hal penting: aksesibilitas, amenitas, dan atraksi.”
Kata dua, dahulu, tanpa infrastruktur yang memadai, orang kesulitan untuk datang. “Jika akses sulit dijangkau, orang akan lebih memilih pulang. Oleh karena itu, konektivitas menjadi prioritas. Sulsel harus terkoneksi dengan baik, dan itulah alasan mengapa kami fokus pada pembangunan infrastruktur,” jelasnya.
Seharusnya Mendapatkan Perhatian
Magister Antropologi UGM sekaligus peneliti bissu, Feby Triadi menjelaskan, dalam momentum pesta demokrasi, bissu seharusnya mendapatkan ruang dan perhatian. Setidaknya, visi dan misi calon gubernur Sulawesi Selatan serta kepala daerah lainnya perlu mencakup komitmen terhadap pelestarian budaya, termasuk bissu.
“Pengalaman di Hari Jadi Bone (HJB) ke-692 menjadi contoh nyata. Saat itu, bissu tidak diberikan tempat dalam acara tersebut. Pemimpin provinsi kala itu juga tidak memberikan dukungan yang memadai,” ungkap akademisi asal Bone ini.
Padahal, pada 2011, Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone berhasil mendaftarkan Tari Sere Bissu sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Pengakuan ini dilengkapi dengan penghargaan pada 2020 atas upaya tersebut. Sayangnya, pelestarian dan transmisi makna Tari Sere Bissu ke dalam kehidupan sosial masyarakat belum sepenuhnya terwujud.
“Pada 2022, bissu di Bone bahkan sempat dilarang tampil dalam beberapa acara. Kini, meskipun tradisi mereka masih dijaga, ruang untuk tampil kian menyempit. Hal ini terjadi karena kurangnya respons dari pemerintah daerah, termasuk gubernur, terhadap pelaku budaya lokal,” jelasnya lebih lanjut.
Menurut Feby, banyak pemimpin memiliki visi dan misi yang baik terkait pelestarian budaya lokal. Namun, dalam implementasinya, visi tersebut belum diwujudkan dalam tindakan nyata.
Feby menekankan bahwa bissu seharusnya dipandang bukan sebagai akar masalah, melainkan sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial. Ia menyebutkan bahwa Sulawesi Selatan dalam jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia cukup tinggi.
“Hilangnya peran bissu dalam tatanan masyarakat dapat berdampak pada kemunduran budaya lokal. Sebaliknya, penguatan peran bissu dapat membantu meredam berbagai persoalan sosial yang ada,” jelas Feby, penyelenggara Project Budaya Bone yang kerap mengangkat isu bissu dalam event tersebut.
Bissu perlu mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat. Mereka harus dianggap sebagai bagian istimewa dari budaya, dihormati sesuai tatanan sosial dan budaya, tanpa dilecehkan atau kehilangan kesakralannya. “Masyarakat harus memandang bissu dengan rasa hormat, bukan dengan sebelah mata,” tegas Feby.
Harapan besar ditujukan kepada pemimpin masa depan, kata dia, budaya lokal harus dijaga dan dilestarikan. Budaya kita, yang berasal dari Riolo (masa lalu), dapat menjadi fondasi kuat untuk menghadapi tantangan masa depan. (*/ham)