Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, Koordinator Ekspedisi Orang Bahari Sulawesi
Ekspedisi pelayaran dua perahu bercadik dari Mandar menuju Luwuk Banggai akan melalui rute pelayaran yang memiliki narasi kuat sekaitan sejarah Jalur Rempah, Jalur Teripang, dan Jalur Bajau. Perahu yang digunakan dalam Ekspedisi Bajau Sulawesi adalah perahu bercadik dari Mandar, yaitu sandeq. Saat ini, perahu sandeq adalah satu-satunya perahu layar tradisional Nusantara yang bisa digunakan melintasi lautan luas dalam jangka waktu lama tanpa ada modifikasi. Itu sebabnya perahu sandeq selalu digunakan sebagai perahu ekspedisi, baik dalam maupun luar negeri sebab berbiaya murah namun tetap mendapatkan sensasi petualang dan tradisional.
“… sandeq sebagai perahu bercadik merupakan suatu warisan dari zaman migrasi suku-suku Austronesia. Akan tetapi, sebagai suatu warisan dari zaman terdahulu yang terus-menerus dikembangkan sampai masa kini, perahu sandeq merupakan salah satu puncak evolusi pembuatan perahu Austronesia: Lambung perahu ditutupi dengan geladak agar ombak yang dihadapi di lautan luas tidak dapat masuk, …” tulis Horst Liebner dalam Beberapa Catatan tentang Pembuatan Perahu dan Pelayaran di Daerah Mandar, Sulawesi Selatan, 1996. Suku Mandar dan Suku Bajau adalah bagian dari Suku Austronesia, yang mana salah satu penemuan Suku Austronesia adalah perahu bercadik.
Bajoe – Pulau Salemo
Pelayaran secara resmi awalnya akan dimulai dari Kampung Bajoe. Tapi karena pertimbangan teknis, pelepasan dilakukan di Pantai Palippis, 23 November 2024. Bajoe adalah kampung kecil di Teluk Mandar, yang di perairan ini terdapat Kepulauan Tonyaman. Nama-nama pulaunya menggunakan istilah-istilah yang kurang familiar dalam Bahasa Mandar.
Diduga kuat nama-nama pulau di Kepulauan Tonyaman adalah istilah Bajau, sebagaimana nama pulau di Kepulauan Bala-balakang, Selat Makassar. Kepulauan tersebut lebih dekat ke Kalimantan Timur, tapi secara administratif masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
Hubungan Bajau dengan Kepulauan Bala-balakang (kadang ditulis Bala-balagang) dan Kepulauan Spermonde (Peternoster) bisa dibaca dalam buku David Sopher, The Sea Nomads, yang mengutip catatan Thomas Forrest, dalam buku “A Voyage to New Guinea and the Moluccas from Blambangan, including an account of Mangindanao, Soolo and other islands”. Tulisnya, “Di depan Pasir, di pantai tenggara Kalimantan di seberang Makassar, ada Bajaus yang menangkap udang dan membuat “belachan”, semacam pasta yang umum mereka gunakan. Bajau Borneo juga membuat garam. Di Kepulauan Little Paternoster di Selat Makassar pada tahun 1773 banyak kapal Bajau berukuran lima hingga enam ton, yang menggunakan tiang layar tripod dengan “layar tanjung”. Mereka sedang berlabuh mencari tripang dengan ladung. Mereka juga menyelam untuk mencari tripang terbaik.”
Lalu dalam buku Seaways and Gatekeepers Trade and State in the Eastern Archipelagos of Southeast Asia, c.1600–c.1906 karya Heather Sutherland (2021) hal. 180, “Cangkang penyu merupakan ekspor utama. Cangkang ini dikumpulkan oleh Sama Bajau dari kepulauan Balabalagan dan sistem terumbu karang besar tempat mereka tinggal, di tengah-tengah antara Kalimantan dan Sulawesi. Sebagian besar dikirim dari Berau, yang tunduk pada penguasa Sulu, tetapi beberapa juga datang dari Pasir dan Kutai.”
Kembali ke Kampung Bajoe yang berada di Teluk Polewali, yang berjarak sekitar 140 mil (260 km) dari Kepulauan Bala-balakang ke arah tenggara. Dari aspek lingkungan, Teluk Polewali (teluk kecil di Teluk Mandar) atau Kepulauan Tonyaman adalah ‘habitat‘ ideal untuk dimukimi orang-orang Bajau: ada pulau kecil, ada terumbu karang, ada ratusan hektar hutan bakau di sekeliling pulau, dan ada teluk-teluk kecil di daratan utama untuk berlindung ketika musim angin kencang. Dan di daratan pulau utama mereka bisa mendapatkan sumberdaya yang digunakan di perahu: bahan baku kayu (nama kecamatan, dulu nama kerajaan, tempat Kepulauan Tonyaman adalah Binuang, nama jenis kayu/pohon yang biasa digunakan sebagai bahan baku perahu), bahan baku atap seperti nipa, dan sumber air tawar.
Pulau Salemo – Pulau Kodingareng/Pulau Barrang Lompo
Salah satu catatan tertua yang menyebut keberadaan orang Bajau di Teluk Mandar bisa dibaca dalam tulisan Vosmaer, sebagai ditulis David Sopher, dalam buku The Sea Nomads (hal. 145) “Menurut Vosmaer, pada abad ke-19, nelayan Bajau di pesisir Teluk Mandar dan sekitar Makassar di bawah pengaruh kekuasaan Bugis. Pada tahun 1949, Kennedy bertanya di desa Balombaru, yang sangat dekat dengan Makassar, kepadanya disampaikan: “Tidak ada Bajau di sekitar sini. Mereka tinggal di pulau-pulau.” (Kennedy, 1953, hlm. 75). Pada masa Vosmaer, ada pemukiman Bajau di dekatnya, di pulau karang Kuding Aring, yang memasok tripang kualitas terbaik yang dikenal di perdagangan Cina, sebagian karena cara yang terampil dalam mempersiapkan produk di sana. Secara lokal orang Bajau dikenal dengan nama Makassar untuk mereka: Turijene. sering ditranskripsikan, salah satunya menurut Matthes (1872, p, 17) sebagai “Taurijene” atau “Torijene” dan menjadi “Troyender” oleh para pelaut Belanda. Namanya berarti “orang air.” Para pelaut Kuding Aring ini banyak berbaur dengan orang Makassar, mereka akan berlayar dalam pelayaran niaga secara berkelompok di bawah pimpinan mereka, mereka membawa serta keluarga yang mana tradisi itu berbeda dg pendatang, yg meninggalkan keluarga di rumah. Mereka memiliki kapal dagang yang cukup besar, 20 atau 30 ton, kira-kira berukuran sama dengan rata-rata padewakan perdagangan Bugis (hal. 210). Di kapal-kapal ini mereka akan membawa sejumlah kano ringan untuk operasi penangkapan ikan yang sebenarnya di tempat tujuan mereka. Perahu dari Kuding Aring setiap tahun berlayar bersama pelaut Makassar, termasuk pelayaran ke daerah penangkapan ikan pilihan orang Makassar di pantai utara Papua. Kalau sendirian, Turijene menangkap ikan menggunakan pemberat yang disebut ladung, dan mengumpulkan jenis tripang kelas dua tertentu di sepanjang kepulauan.”
Selain Pulau Kodingareng (di kutipan di atas tertulis Kuding Areng), juga ada Pulau Barrang Lompo, berjarak 11 km dari Pantai Losari, Makassar. “Konon mulanya Baranglompo diartikan, sebagai pepohonan sejenis tebu yang tidak berbuah yang disebut tebbu sala, yang jumlahnya cukup banyak. Kemudian setelah pulau tersebut mulai dihuni oleh nelayan-nelayan sebagai tempat persinggahan, kata barrang, diartikan sebagai benda atau barang, sedang lompo berarti besar. Kata lompo yang berasal dari bahasa Mandar dan lompo yang berasal dari bahasa Makassar, menunjukkan bahwa yang dahulu mendiami pulau itu dari dahulu sampai sekarang adalah kedua suku bangsa itu. Dahulu pada masa kerajaan Gowa, pulau ini merupakan tempat akumulasi barang-barang yang dirampas dari bajak-bajak laut yang banyak berkeliaran di masa itu,:” dalam Baranglompo: Masyarakat Pulau di Kawasan Makassar” karya Ahmad R. Hafidz (buku Persepsi Sejarah Kawasan Pantai, editor Mukhlis Paeni, 1989).
Dalam tulisan Hafidz juga dikemukakan bahwa penduduk pulau Barrang Lompo merupakan suatu ciri masyarakat majemuk. Kemajemukan penduduk ditandai oleh adanya pengelompokan suku bangsa setiap rukun warga. Di RW I pada umumnya mereka adalah suku Mandar bercampur dengan Orang Bajo. Di RW II pada umumnya adalah keturunan Melayu dan Tionghoa. Di RW III pada umumnya terdiri dari suku Makassar, Bugis dan beberapa orang yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Dan di RW IV adalah suku Makassar bercampur dengan beberapa keluarga keturunan orang Bajo. Orientasi pekerjaan setiap suku bangsa juga berbeda-beda. Penangkapan ikan merupakan. pekerjaan utama orang Bajo; suku Mandar dan Bugis Makassar. Berdagang adalah pekerjaan keturunan Tionghoa dan pekerjaan industri kecil seperti membuat hiasan-hiasan dari kulit kerang didominasi oleh keturunan Melayu. Pekerjaan berlayar pada umumnya dilakukan oleh suku Mandar, Bugis dan Makassar. Namun pada umumnya yang mengepalai pelayaran tersebut adalah keturunan Tionghoa yang memiliki banyak modal sedangkan suku Mandar dan suku Bugis Makassar merupakan pelaksana pelayaran sebagai ponggawa kapal, sawi dan sejenisnya.
Pola pemukiman yang mengelompok di Pulau Barrang Lompo juga terjadi di Pulau Kodingareng. Pantai barat P. Kodingareng dulunya adalah perkampungan orang Bajau. Penduduk setempat menginformasikan bahwa di sini Kampung Cina, di sana Kampung Mandar, di situ Kampung Bajau.
Baik Pulau Kodingareng maupun Pulau Barrang Lompo, itu adalah dua pulau di antara 120 pulau kecil di Kepulauan Spermonde yang juga kawasan atau tempat orang Bajau hidup di masa silam. Secara administratif, kepulauan ini masuk wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (bekas Kerajaan Siang) dan Kotamadya Makassar (bekas Kerajaan Gowa Tallo).
Dalam buku Seaways and Gatekeepers, “Pada suatu waktu di pertengahan abad ketiga belas Sama Bajau, yang dipimpin oleh tuan mereka atau Papuq, menetap di Sulawesi barat daya. Sejak awal abad keenam belas, mereka melayani kerajaan-kerajaan awal seperti Luwu dan Siang (Pangkajene). Tradisi Sama Bajau mencatat bahwa Raja Gowa menjanjikan mereka “kebebasan dalam hal hukum, dalam hal adat Papuq . Mereka juga akan bebas untuk menggunakan sungai, sumur serta kayu…. Pintu Gowa terbuka untuk Anda”. Sama Bajau juga merupakan pejuang laut yang terampil; mereka memelopori perluasan pengaruh Makassar di sepanjang pantai Kalimantan timur, Sulawesi utara dan timur, di sekitar Buton, Ternate, Tidore, Lombok dan Sumbawa. Orang-orang “Makassar” mengirim armada ke Nusa Tenggara pada “abad ke-15”. Talloq adalah kekuatan pendorong, karena kapasitas maritimnya didasarkan pada aliansi yang panjang dengan orang-orang Sama Bajau dari pulau-pulau lepas pantai. Para sekutu ini dihadiahi wilayah kekuasaan mereka sendiri, Sandao . Wilayah ini meliputi sebagian besar Flores barat. Di Manggarai, pelabuhan-pelabuhan utama, Pota dan Reo, merupakan pusat perdagangan hasil laut dan pesisir serta budak.“
Selain dua pulau di atas yang tercatat dihuni orang Bajau, juga Pulau Salemo. Pulau ini dalam sejarah lebih dikenal sebagai pusat perdagangan di Selat Makassar sampai menjadi korban pemboman pada perang dunia II, yang mana warganya (termasuk orang Cina) mengungsi ke tempat lain. Perannya sebagai “Singapura di Selat Makassar“ dan pusat pendidikan agama pun redup.
Masih dalam buku Heather Sutherland (hal. 110), “ Cornelis Speelman, laksamana yang memimpin pasukan yang menaklukkan Makassar pada tahun 1669, berkomentar: Orang-orang yang disebut orang Badjous, tinggal di sini dalam jumlah yang cukup besar sebelum perang, di bawah yurisdiksi Makassar, dan sebagian besar tinggal di pulau-pulau sebelum Labakkang [Pangkajene], khususnya di Salemo…. Mereka juga berlayar ke semua pulau yang lebih jauh di laut, untuk mengumpulkan kulit penyu dari mereka. Ini wajib mereka sampaikan kepada Raja Makassar . Lebih jauh, mereka harus selalu siap untuk pergi dengan perahu mereka ke arah mana pun mereka dikirim, ke mana pun raja dari waktu ke waktu melihat lebih banyak keuntungan yang bisa diperoleh, karena mereka adalah tipe orang-orang yang dikenal sebagai budak raja [hamba raja ]… . Mereka adalah orang-orang yang sangat berguna.”
Karena dicatat sejarah sebagai tempat yang dulu banyak ditinggali orang Bajau, Pulau Salemo akan disinggahi terlebih dahulu sebelum perahu sandeq menuju Pulau Kodingareng an Pulau Barrang Lompo. Jadi etape pertama pelayaran Ekspedisi Orang Bahari Sulawesi adalah Kampung Bajoe – Pulau Salemo. Nanti hari kedua dan ketiga dari Pulau Salemo menuju Pulau Kodingareng dan Pulau Barrang Lompo.
Pulau Barrang Lompo – Jeneponto
Dari Pulau Kodingareng, pelayaran ekspedisi dilanjutkan menuju Jeneponto. Belum ditemukan catatan tertulis hubungan antara Bajau dengan Jeneponto. Tapi tempat ini disinggahi karena perhitungan teknis, bahwa pelayaran pagi sampai sore, perahu sandeq akan tiba di perairan pesisir Kabupaten Jeneponto. Meski demikian, Jeneponto memiliki narasi kuat dalam perdagangan bahari di masa silam, yakni sejarah Kerajaan Binamu dan Bangkala.
Jeneponto – Ara, Bulukumba
Pelayaran berlanjut ke arah selatan lalu berbelok ke arah timur menuju perkampungan Ara, Bulukumba, salah satu sentra pembuatan perahu layar ukuran besar, seperti pinisi. Pinisi adalah hasil evolusi perahu padewakang. Perahu padewakang diperkirakan merupakan perahu utama pelayaran jarak jauh pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Mandar).
Menurut Horst dalam makalahnya Perahu-perahu Tradisional Nusantara, “Padewakang-padewakang milik pedagang Mandar, Makassar dan Bugis melayari seluruh Samudera Indonesia di antara Irian Jaya dan Semenanjung Malaya, dan sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 secara rutin berlayar sampai ke Australia untuk mencari tripang, dalam suatu byuku dari abad silam bahkan terdapat gambaran sebuah perahu padewakang yang dicapi ‘perahu bajak laut asal Sulawesi di Teluk Persia. Tipe perahu ini menggambarkna dengan baik sifat-sifat perahu Nusantara sejak kedatangan kolonial: Sebuah lambung yang — menurut standar Eropa– berukuran sedang yang dilengkapi dengan satu sampai dua geladak, kemudi samping dan layar jenis tanjaq yang dipasang pada sebatang tiang tripod tanpa laberang.”
Kemudian oleh Heather Sutherland dalam bukunya, Seaways and Gatekeepers (hal. 106), “Di Sulawesi Barat Daya, perahu pinisi dipandang sebagai simbol berharga dari tradisi pelayaran Bugis dan Makassar . Pinisi, dengan layar-layar Barat di bagian depan dan belakang, dikembangkan pada paruh kedua abad kesembilan belas untuk bersaing dengan armada sekunar, perahu layar, dan perahu layar Barat yang terus bertambah. Sebelumnya, perahu ini telah dilengkapi layar fleksibel paduwakang, kapal bertiang tiga dengan layar persegi panjang, kemudi ganda, dan profil khas yang ditandai dengan haluan panjang dan buritan tinggi yang menonjol. Ini adalah jenis kapal Sulawesi Selatan yang paling umum pada abad kedelapan belas. Paduwakang sendiri telah menggantikan jenis-jenis perahu non- Sulawesi sebelumnya seperti chialoup, perahu layar hibrida Eropa yang dibangun di Jawa, dan perahu lokal, seperti pankor kecil dan gonting.“
Ara – Pulau Sagori
Ara adalah titik bertolak menuju Pulau Sagori, melintas Teluk Bone. Pulau Sagori adalah salah satu pemukiman orang Bajau di barat pulau besar, Pulau Kabaena. Selain keberadaan orang Bajau di Pulau Sagori, pulau ini layak disinggahi karena juga dicatat dalam sejarah sebagai tempat terjadinya kecelakaan di laut oleh armada kapal VOC. Kecelakaan laut terbesar di Sagori terjadi pertengahan abad ke-17 yang menimpa lima kapal milik VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang Kerajaan Belanda di Asia Timur yang beroperasi di Nusantara untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah. Kelima kapal itu bersamaan menabrak karang dalam perjalanan iring-iringan dari Batavia menuju Ternate (Maluku Utara).
Menurut Horst Liebner, peristiwa kandasnya kelima armada VOC di karang Pulau Sagori terjadi pada 4 Maret 1650. Kelima kapal layar Belanda itu adalah Tijger, Bergen op Zoom (berdaya angkut 300 ton), Luijpaert (320 ton), De Joffer (480 ton), dan Aechtekercke (100 ton). Lokasi kecelakaan merupakan daerah asing bagi para pelaut Belanda maupun dunia pelayaran umumnya di zaman itu. Pulau Kabaena yang terdekat dengan lokasi musibah, dalam laporan disebut Pulau Comboina. Penduduk setempat datang ke lokasi dilukiskan sebagai ”orang hitam” diartikan Liebner sebagai etnis Sama (Bajo) yang mendiami pesisir Pulau Kabaena.
Setelah menjelang seminggu hidup di Pulau Sagori tanpa tanda-tanda kemungkinan adanya pertolongan, pimpinan pelaut Belanda memutuskan mengirim sebuah sekoci ke Ambon untuk melaporkan kecelakaan itu kepada Laksamana de Vlamingh. Mereka juga berusaha membuat sendiri kapal menggunakan bahan-bahan dari kapal yang telah pecah berantakan. Awak kapal menyelamatkan barang dagangan dan 87 pucuk meriam.
Kapal hasil rakitan yang kemudian diberi nama Trostenburg (benteng pelipur lara) itu diluncurkan awal Mei, hampir bersamaan datangnya kapal bantuan pada 7 Mei 1650 yang dikirim atas perintah de Vlamingh. Kedatangan kapal bantuan itu sangat terlambat karena terhalang angin barat yang saat itu bertiup kencang.
Pulau Sagori – Pulau Maginti
Dari Pulau Sagori, pelayaran dilanjutkan ke Pulau Maginti. Secara administratif, Pulau Maginti merupakan wilayah Kecamatan Maginti, Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara. Di pulau ini terdapat 2 (dua) desa yakni Desa Maginti dan Desa Kangkunawe. Penduduk yang menghuni Pulau Maginti merupakan perpaduan 3 (tiga) etnis yakni Muna, Bugis, dan Bajo dengan jumlah penduduk kira-kira mencapai 2.000-an jiwa. Bahasa Bajo merupakan bahasa sehari-hari penduduk Pulau Maginti.
Berjarak 18 km ke arah tenggara dari Pulau Maginti ada Desa Bangko. Permukiman di Desa Bangko dibangun di atas laut yang berjarak kurang lebih 600 meter dari pulau Muna. Desa Bangko merupakan salah satu desa Suku Bajo yang masih tetap mempertahankan tradisi bermukim diatas laut hingga saat ini. Sementara permukiman Suku Bajo lainnya pada umumnya telah tinggal menetap di tepi pantai atau sudah membangun rumah di atas
daratan. Nama Desa Bangko diambil dari nama sebuah pulau dekat permukiman ini dibangun, yaitu Pulau Bangko. Bangko dalam bahasa Bajo berarti Bakau. Pulau ini dinamakan Pulau Bangko sebab pulau ini ditutupi oleh vegetasi mangrove (bakau).
Pulau Maginti – Kendari
Pelayaran berlanjut menuju Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejarah berdirinya Kendari tak lepas dari peran orang Bajau.
Dalam tulisan “Recording the Past of “Peoples Without History”: Southeast Asia’s Sea Nomads karya Barbara Watson Andaya, “… pada tahun 1984 Leonard Andaya meninjau kembali sumber-sumber yang digunakan oleh Sopher, khususnya melihat hubungan antara “populasi akuatik” dan pemerintahan pesisir. Berdasarkan bukti ini, Andaya berpendapat bahwa sering kali inisiatif kelompok penghuni lautlah yang membantu mengubah permukiman kecil menjadi pusat komersial yang berkembang pesat. Keterlibatan Orang Laut dalam pendirian Melaka adalah contoh yang jelas, tetapi ia juga mengutip kasus seorang pangeran Bone abad ke-19, Arung Baku, yang diundang oleh Sama-Bajau dari daerah Kendari di Sulawesi timur untuk menetap di antara mereka karena “ia memiliki reputasi yang baik di antara berbagai suku [Sama-Bajau].” Dua puluh perahu penuh Sama-Bajau mengikutinya, dan Kendari bangkit menjadi pusat perdagangan yang penting. … Yang terpenting, mereka berdua menegaskan bahwa, sebelum abad ke-20, Sama Bajau tidak hanya memainkan peran ekonomi utama tetapi juga mempertahankan hubungan mereka dengan hierarki istana Makassar dan Bugis sebagai “otot dan urat” kerajaan.”
Dalam buku The Sea Nomads karya David E. Sopher, “Anak-anak Bajau yang dilihat oleh Vosmaer di Teluk Kendari dilatih untuk hidup di air sejak usia dini, dan dengan cepat belajar mendayung kano, berenang, dan melempar tombak ringan. Latihan-latihan ini dan permainan kompetitif lainnya dimainkan dengan penuh semangat dan kegembiraan, yang menurut Vosmaer tidak biasa bagi anak-anak Indonesia. Vosmaer menguraikan metode yang digunakan untuk menangkap penyu dan memperoleh tripang di perairan yang lebih dalam; ini adalah pekerjaan para lelaki. Para perempuan dan anak-anak akan berburu spesies Holothurian yang kurang berharga dan dapat dimakan di atas pasir dan karang yang terpapar saat air surut.” (148 – 149)
Lalu dalam buku Seaways and Gatekeepers, “Teluk Kendari panjang dan sempit, dengan pintu masuk yang hampir tak terlihat. Teluk ini mudah dipertahankan, dengan makanan, air tawar, dan kayu yang melimpah. Teluk ini dikenal baik oleh para pedagang yang berkunjung untuk mencari komoditas laut; sebagian besar adalah orang Bugis yang menetap di pulau kecil dekat pintu masuk. Di sana, mereka dapat melakukan barter dengan orang Tolaki dari pedalaman, sambil mendapatkan perlindungan dari serangan mereka. Komunitas Sama Bajau sering mengunjungi pulau-pulau lepas pantai; pada awal abad kesembilan belas, kehadiran mereka di Teluk Kendari meningkat. (hal. 275) … Keamanan pantai timur yang semakin meningkat terlihat di Tobungku. Pada akhir abad kesembilan belas, pantai tersebut berkembang pesat; beberapa orang Arab memiliki gudang di sana, dan orang Cina dari Makassar dan orang Bugis dari Kendari datang secara teratur untuk berdagang. Ekspor besi diklaim oleh Bone. Pada tahun 1872 Matthes mengunjungi pemukiman pesisir Bugis dan Sama Bajau di Kendari, ke selatan, yang saat itu memiliki sekitar seratus rumah. Raja Kendari, tokoh terkemuka dalam konfederasi Laiwui, tinggal sekitar lima jam mendayung ke hulu di desa Bugis Lepa Lepa. Orang Bugis Kendari membayar upeti kepada Bone. Saat raja tidak ada, rombongan Belanda diterima oleh Uwa Pati Bugis. Dia menjelaskan bahwa dulu dia bepergian ke pedalaman untuk berdagang, sekarang dia sudah bisa tinggal di Lepa -Lepa, karena suku Toraja datang dari pedalaman untuk menukar beras dan jagung dengan kain. Di akhir abad itu, di mata orang Belanda, Kendari masih merupakan kampung rumah-rumah kayu yang biasa-biasa saja, yang seluruhnya terendam air saat air pasang, tetapi “bukan tempat perdagangan yang remeh (hal. 415)”.
“Berdasarkan sumber kolonial, dikatakan bahwa kota ini berkembang ketika Vosmaer menjadikan Kendari sebagai pusat aktivitas dagang dan militer. Vosmaer memperkenalkan Kendari melalui tulisannya tentang posisi penting daerah itu, jika dijadikan sebagai pangkalan militer dan pusat perdagangan. Vosmaer membangun loji di sekitar Kerajaan Laiwui. Tulisannya itu berkaitan dengan upaya Vosmaer untuk meyakinkan Pemerintah Hindia Belanda agar menjadikan kawasan Kendari sebagai pusat ekonomi dan militer di wilayah Sulawesi Timur (Oost Celebes). Vosmaer mengatakan bahwa Kendari dengan teluknya yang aman dapat dijadikan sebagai pusat pengumpulan barang dagang, pelayaran, dan perdagangan. Perdagangan di Kendari diramaikan oleh para pedagang dari Bugis dan Makassar sejak lama. Etnis ini datang ke Sulawesi Tenggara melalui laut dengan menggunakan sarana transportasi laut dan melalui darat. … Masyarakat Kota Kendari sebagian dihuni oleh etnis Bugis dan Bajo. Orang Bugis mendiami daerah pantai, sedang orang Bajo bermukim di atas permukaan air di Teluk Kendari. Masing-masing suku itu bertempat tinggal dalam suatu perkampungan. Perkampungan orang Bajo terletak di sebelah barat Bukit Tanjung dan muara Sungai Kendari. Pada perkembangan kemudian, Kampung Bajo dan tempat pendirian pertama loji oleh Vosmaer menjadi pusat Kota Kendari. Pemukiman penduduk di sebelah timur teluk, kemudian menjadi Kendari Caddi sebagai tempat pendirian Asrama Militer Belanda sejak 1906. Kedatangan Vosmaer di Kendari membawa perubahan pada fisik Kota Kendari. Hal ini terlihat pada pendirian loji/benteng di tepi Teluk Kendari dan pusat pemukiman di teluk Kendari. Pendirian loji dan pembangunan rumah raja Laiwui oleh Vosmaer dapat dikatakan menjadi titik awal perkembangan Kendari sebagai sebuah kota, karena modernisasi dan penataan wilayah dilakukan di Kendari. Sejak itu Kendari berangsur-angsur menjadi kota perdagangan ramai setelah Buton,” dalam buku Sejarah Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara karya La Ode Rabani (2010, hal. 60)
Kendari – Pulau Sombori/Pulau Marege
Setelah dari Kendari, rencana rute berikutnya adalah menuju Pulau Sombori dan Pulau Marege. Dua pulau ini sangat berdekatan. Dua pulau ini bertetangga dengan perkampungan Bajau, Mbokita. Jaraknya hanya 2 km. Yang menarik adalah istilah “Marege”, yang selama ini dikenal sebagai istilah orang Makassar untuk menyebut tempat orang Makassar mencari tripang di Australia Utara. Dalam bahasa Bajau, “marege” berarti tanjung yang berduri. Di tempat ini narasi Bajau, tripang, dan Marege bertemu. Itu berarti tempat ini wajib disinggahi.
Dari “Raja Ampat-nya“ Sulawesi Tenggara, pelayaran menuju arah Pulau Peleng, lalu ke Luwuk Banggai.
Menuju Luwuk Banggai
Dalam buku Seaways and Gatekeepers, ditemukan beberapa catatan yang mengaitkan Bajau dan Banggai. Diantaranya, “Banggai disebutkan dalam sumber-sumber Cina dan Jawa abad keempat belas, yang mencatat kekayaannya akan beras dan sagu. Pada tahun 1515 Tomé Pires telah mengamati bahwa “sejumlah besar besi datang dari luar, dari pulau-pulau Banggai, kapak besi, parang, pedang dan pisau”; ia mungkin telah memasukkan pelabuhan-pelabuhan Tobungku di dekatnya. Penambangan dan penempaan besi adalah pekerjaan utama masyarakat yang tinggal di dekat Danau Matano. Sama Bajau mengeksploitasi terumbu karang dan pesisir lepas pantai, menyediakan kekayaan akan cangkang penyu, sirip hiu dan cangkang mutiara. Produk-produk hutan juga tersedia dengan mudah, termasuk sarang burung yang dapat dimakan, lilin lebah dan kayu cendana. Ini ditukar dengan tekstil, serta barang dari kuningan, porselen, senjata dan kemudian opium. Pada tahun 1679 diperkirakan bahwa penduduk Banggai berjumlah sekitar 10.000; sebagian besar non-Muslim. Kerajaan menandatangani kontrak dengan VOC pada tahun 1689.” (hal. 201)
“Pada tahun 1850 van der Hart mencatat bahwa di sepanjang pantai selatan Tomini semua kerajaan mengakui penguasa Bone sebagai tuan mereka yang sah”. Van der Hart menggambarkan bagaimana penguasa Banggai pernah bergantung pada kedatangan 100 hingga 150 perahu Sama Bajau setiap tahunnya, yang membawa hasil laut ke Peleng.” (hal. 367)
“Sama Bajau dari Banggai Peleng membayar Sultan Ternate sebesar fl.4 pa untuk hak berlayar di sekitar Sulawesi dan di Teluk Tomini , tempat mereka berburu kura-kura, teripang, dan, kadang-kadang, budak” (hal. 415).
Kemudian di buku The Sea Nomads, “Situasi yang sama terjadi di Kepulauan Banggai, yang pesisirnya sering dikunjungi oleh orang Bajau, yang tempat berkumpul utamanya berada di pulau-pulau kecil yang dikelilingi terumbu karang antara Peleng, pulau terbesar, dan Banggai, pulau di tenggara. Pada tahun 1840-an, antara 100 dan 150 perahu dari para pengembara yang agak pemalu ini akan datang ke pelabuhan pada waktu-waktu tertentu dalam setahun, sebuah fakta penting bagi penguasa setempat, yang sangat bergantung pada orang Bajau untuk sebagian besar barang ekspor dalam perdagangan pulau tersebut (Hart, 1853, hlm. 104). Ikan karang untuk kebutuhan mereka sendiri, dan juga dikeringkan untuk ditukar, tripang, kulit penyu, dan sirip hiu untuk pasar Cina termasuk di antara barang-barang yang diambil oleh orang Bajau, yang juga terlibat dalam kegiatan ini di gugusan Pulau Sula di sebelah timur” (hal. 150)
Catatan Akhir
Jalur Ekspedisi Orang Bahari Sulawesi melalui sebagian Jalur Rempah dan Jalur Tripang yang di masa bahari digunakan pelaut-pelaut Sulawesi dari Mandar, Bugis Makassar untuk mengambil rempah di Ternate, Tidore, Makian, Bacan. Dikatakan rute tersebut juga adalah bagian penting dari Jalur Tripang sebab pelayar-pelayar Mandar, Bugis, Makassar juga mengumpulkan tripang hasil tangkapan orang-orang Bajau yang tinggal di sekian banyak pemukiman mereka di pulau-pulau kecil.
Menurut David E. Sopher, “Dua jenis perdagangan mendominasi kegiatan ekonomi Suku Bajau di wilayah yang luas ini. Yaitu tripang dan kulit penyu. Keberadaan sumber daya ini merupakan faktor penting dalam distribusi Suku Bajau dan dapat menjadi indikator yang berguna mengenai keberadaan pengembara laut di wilayah-wilayah yang populasinya menunjukkan jejak manusia perahu (hal. 145) … Di Kalao dan Bonerate, Suku Bajau ditemukan pada awal abad kesembilan belas. Mereka bekerja sebagai nelayan dan pengumpul kulit penyu, tripang, dan sarang burung yang dapat dimakan (hal. 154).
Pelayaran dimulai dari pantai barat Pulau Sulawesi, menuju Pantai Timur. Istilah dari ujung barat menuju ujung timur. Pertanyaan sederhana, adakah hubungan Suku Mandar dari pantai barat dengan Suku Bajau di pantai timur di Luwuk Banggai? “Banyak dari mereka yang telah menikahi gadis Bajau dan kemudian secara umum dianggap sebagai suku Bajau, dan pada kenyataannya, kepala suku laut Banggai pada tahun 1908 sebenarnya adalah seorang Bugis dari Mandar, yang telah menikah dengan seorang wanita Bajau, demikian tertulis dalam The Sea Nomads karya David E. Sopher (hal. 150). (*)