Namun, fakta di lapangan seringkali berbeda dengan semua aturan ideal yang telah dibangun dan berusaha diterapkan. Kita harus berani mengakui bahwa banyak pelanggaran terjadi terkait netralitas ASN dalam kontestasi politik, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Lebih parahnya lagi, ketidaknetralan ASN sering kali dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis, dikarenakan adanya struktur kekuasaan yang menjadi “alat pukul” untuk kepentingan para kandidat yang memiliki relasi kuasa dengan hierarki yang ada. Semua bentuk ketidaknetralan ASN akan bergerak dari hulu ke hilir, dari struktur tertinggi hingga lapisan paling bawah, mulai dari Bupati hingga ke RT/RW.
Netralitas TNI-POLRI
TNI-POLRI, yang memiliki tugas pertahanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat, serta sebagai benteng terakhir kedaulatan bangsa, juga tidak luput dari perhatian terkait netralitas dalam Pilkada. Beberapa aturan mengikat dan memiliki konsekuensi yang jelas terhadap institusi dan anggota TNI-POLRI. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008, dan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 adalah dasar dari Netralitas TNI-POLRI, yang menyatakan bahwa mereka tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
Meski ada berbagai aturan yang mengikat, seringkali kita menyaksikan pelanggaran terhadap aturan yang ada. Netralitas yang seharusnya terjaga, acapkali dilanggar oleh oknum-oknum di dalam institusi TNI-POLRI. Di tangan oknum-oknum tersebut, institusi TNI-POLRI dijadikan “tameng” dan alat pukul kekuasaan untuk mencapai kepentingan dan ambisi politik. Tindakan ini berlangsung dari hulu ke hilir, mulai dari Kapolres/Dandim hingga Bhabinkamtibmas/Babinsa.