OLEH: Ian Imanuel Fidhatami
Mahasiswa Program Studi Doktor Biologi (S3) UGM
Kerusakan habitat, ekosistem dan keracunan makanan akan mendatangkan ancaman yang serius terhadap spesies Kera Hitam Sulawesi (Macaca maura).
Indonesia yang sering disebut sebagai negara megabiodiversitas tentunya memiliki beranekaragam puspa dan satwa endemik baik pada level spesies maupun pada level taksonomi yang lebih tinggi. Tentunya Keunikan ini menjadi kebanggaan tersendiri sekaligus menjadi aset yang dimiliki oleh negara kita.
Tepat di tanggal 05 November ini kita memperingati sebagai Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Hal ini bukan hanya merupakan suatu perayaan yang biasa saja namun juga menjadi momen yang sangat penting untuk memberitahukan kita akan pentingnya pelestarian alam dan keanekaragaman hayati di nusantara ini.
Keuntungan yang dimiliki oleh negara kita tentunya diiringi juga oleh adanya suatu tantangan dan ancaman bagi beberapa jenis puspa dan satwa yang masuk dalam kategori langka atau mendekati kepunahan. Pemerintah tentunya telah melakukan berbagai upaya strategis, sinergis dan secara terus menerus terhadap status perlindungan puspa dan satwa di negara kita bahkan sampai melibatkan dunia internasional. Namun apakah kebijakan tersebut efektif?
Salah satu spesies satwa yang tidak banyak dikenali yang masuk dalam kategori langka adalah Kera Hitam Sulawesi (Macaca maura).
Mengenal macaca maura
Macaca maura atau yang lebih dikenal sebagai kera hitam sulawesi adalah salah satu satwa yang dilindungi oleh negara yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 serta masuk dalam list IUCN (International Union for Conservation of Nature) kategori ENDANGERED (EN) yaitu kategori takson yang dinyatakan menghadapi risiko tinggi terhadap kepunahan di alam liar.
Sesuai dengan namanya kera hitam sulawesi merupakan hewan endemik di pulau sulawesi tepatnya di provinsi sulawesi selatan dan tersebar di wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung serta berada pada kawasan Wallacea. Berdasarkan jurnal primatologi, pada dasarnya hewan ini tergolong frugivora yaitu hewan pemakan buah yang memakan buah Ficus spp., rao (Dracontomelon mangiferum), pangi (Pangium edule), bakan (Litsea firma), dan pohon Binkuru. Serangga dan daun dari tumbuh-tumbuhan herba juga dikonsumsi, terutama pada musim kemarau.
Ancaman kehidupan
Adanya pembangunan infrastruktur untuk pelebaran jalan ruas kabupaten mengharuskan pemerintah untuk melakukan penebangan hutan yang berdampak pada hilangnya fungsi dan struktur hutan, perubahan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, berkurangnya pasokan sumber makanan sehingga secara langsung hal ini menjadi ancaman utama terhadap kelangsungan hidup spesies ini dan jenis kera sulawesi lainnya.
Rusaknya habitat spesies ini membuat perilaku mereka juga berubah terkhusus dalam hal mencari sumber makanan. Berdasarkan fakta lapangan yang saya temukan, adanya suatu kebiasaan yang berulang dilakukan oleh orang yang hendak melalui jalan poros untuk memberikan berbagai jenis makanan membuat mereka terbiasa dan malas untuk mencari makan sendiri sehingga mereka kebanyakan berdiri di pinggir ruas jalan.
Berbagai peringatan yang telah diberikan oleh Pemerintah melalui papan bicara untuk tidak memberikan makanan kepada spesies ini tampaknya tidak berhasil dan justru di sepanjang pelebaran jalan ini papan bicara tersebut sudah tidak ditemukan keberadaannya.
Tindakan konservasi
Di kawasan Taman Nasional ini terdapat banyak habitat hidup puspa dan satwa. Tidak hanya habitat asli, puspa dan satwa langka yang hampir punah juga tersebar banyak di kawasan ini. Namun nyatanya habitat mereka sekarang terganggu dan tidak terjaga karena berbagai faktor yang jika dibiarkan begitu saja akan mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Perlunya tingkat eksplorasi yang lebih lagi untuk segala jenis keanekaragaman hayati dengan melibatkan seluruh stakeholder akan menyadarkan kita bahwa sumber daya alam hayati Indonesia serta ekosistemnya memiliki kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, dan seimbang.
Pengelolaan kawasan konservasi hendaknya melibatkan masyarakat sekitar dan para pihak lainnya melalui suatu pendekatan kemitraan konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah setempat juga perlu melakukan patroli dan kontrol aktivitas manajemen dan pengelolaan yang baik sebagai upaya untuk konservasi puspa dan satwa yang menetap di kawasan ini.
Dengan demikian pemaknaan akan pentingnya pelestarian puspa dan satwa Indonesia sebagai suatu sistem penyangga kehidupan selaras dengan salah satu tujuan dari SDGs yaitu menjaga lingkungan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi kepentingan semua. (*)